Sunday, September 27, 2009

Hukuman Rajam dan Absolutisme: Refleksi Pribadi



Hadirnya Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Senin (14/9), membuat saya terhenyak. Di dalam peraturan tersebut, terdapat hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) untuk pelaku perzinahan. Selain itu, terdapat hukuman cambuk dengan rotan sampai 100 kali untuk homoseks. Secara keseluruhan, peraturan tersebut melarang konsumsi alkohol (khamar), perjudian (maisir), keintiman antara pasangan yang belum menikah (ikhtilath), perzinahan serta homoseksualitas (musahaqah dan liwath).


Sebelumnya, seperti yang dilansir oleh Amnesty International, Aceh sudah menerapkan hukuman cambuk rotan untuk beberapa pelanggaran, yaitu perjudian, pencurian, dan pencabulan. Pada tahun 2005, sebanyak 31 laki-laki dan 4 perempuan terdakwa perjudian dicambuk rotan. Tahun 2006, sebanyak 5 laki-laki dan 3 perempuan terdakwa perjudian dan perzinahan kembali dirotan. Kali ini, hukuman rajam ditambahkan dalam peraturan tersebut. Berarti, hukuman mati di depan publik sudah mulai diterapkan di Aceh, seperti yang terjadi di Republik Islam Iran dan sejumlah negara yang menerapkan hukum serupa.


Saya terhenyak. Batin saya mungkin bisa dikatakan menangis, bahkan geram. Mengapa masih ada orang-orang di abad 21 ini yang memandang hukum agama dengan kacamata yang absolut. Walaupun negara ini sudah meratifikasi HAM PBB, tetapi toh pelaku “kriminal” masih diperlakukan dengan kejam. Banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Hukuman yang bersifat penyiksaan pun sudah dilarang sejak lama. Bahkan pemerintahan George W. Bush sudah tercoreng karena kasus penyiksaan tahanan teroris di penjara Guantanamo, Kuba, terungkap ke dunia internasional.


Sayangnya, negara kita rupanya lebih suka mundur ke masa-masa ketika hukuman fisik dan hukuman mati (capital punishment) merupakan satu-satunya cara bagi penguasa untuk menyingkirkan orang-orang yang mereka tidak sukai. Sayangnya lagi, kali ini hukuman tersebut diberi judul “hukum agama”. Ternyata, setelah ratusan hingga ribuan tahun lewat, orang yang mengaku lebih “beriman” dibanding orang lain, tidak berbanding lurus dengan jaman yang makin progresif dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang diterima oleh sistem demokrasi.


Saya menolak hukuman rajam dan bentuk-bentuk hukuman serupa karena orang perlu memikirkan kembali tentang nilai kemanusiaan. Bagaimana bisa hukuman rajam disebut sebagai hukuman yang manusiawi? Tuturkanlah seribu ayat pendukung jika memang Anda tidak sepakat dengan saya, namun saya tidak akan pernah menganggapnya sebagai kebenaran, karena “kebenaran itu relatif”. Saya pikir, semua orang, baik yang beragama maupun yang tidak, mau tidak mau dituntut untuk mempercayai bahwa kebenaran itu tidak absolut--kalau kita masih ingin disebut sebagai manusia beradab.


Harus diakui bahwa orang yang percaya pluralisme dan perbedaan, percaya pula bahwa kebenaran itu selalu bergantung pada konteksnya. Sebab, kebenaran absolut--kalau pun ada--hanya eksis di ranah pribadi. Keluar dari ranah pribadi, apa yang disebut “kebenaran” itu menjadi relatif adanya. Konsekuensinya, jika kebenaran absolut hanya eksis dalam keyakinan individual, kita tidak bisa memaksakan orang lain agar percaya pada keyakinan kita. Kita tidak bisa menegaskan bahwa si fulan atau fulanah pasti bersepakat dengan “kebenaran” menurut versi kita.


Inilah mengapa saya tidak setuju dengan hukum agama yang dinomorsatukan, sementara hukum negara dinomorduakan. Inilah mengapa negara demokrasi menekankan apa yang disebut dengan “separation of church and state”, pemisahan antara gereja (agama) dan negara. Karena sudah tentu, agama atau iman adalah urusan pribadi. Jangan dicampur-adukkan dengan urusan negara yang merupakan urusan bersama. Dengan pemahaman negara modern seperti ini, bagaimana mungkin, menghukum kriminal dengan hukum agama dapat dianggap sebagai sesuatu yang logis alias masuk akal? Bagaimana mungkin keyakinan pribadi dapat digunakan untuk menghukum orang lain? Ada mismatch di situ.


Refleksi dari perspektif spiritual

Itulah mengapa saya mengakui bahwa kebenaran absolut itu tidak mungkin ada. Ini juga berarti bahwa “kebenaran” itu sendiri tidak mungkin bisa kita pahami. Karena kita manusia, itu alasan utamanya. Dalam pemikiran dan sistem keyakinan yang saya dalami, ada nilai kemanusiaan yang saya tangkap, bahwa kita itu makhluk fana. Kita adalah makhluk yang serba terbatas, sehingga tidak mungkin untuk menjadi makhluk yang “maha” (In my own words, it is impossible for us aspiring like a god/goddess).


Dengan demikian, kebenaran absolut hanya milik Yang Abadi. Karena kita bukan Dia (jika Anda percaya keilahian yang tunggal) atau Mereka (jika Anda percaya keilahian yang jamak). Kita tidak akan bisa memahami kebenaran absolut karena kita dibatasi pada kondisi kefanaan kita. Karena kita makhluk fana, tidak mungkin bagi kita untuk menentukan atau menetapkan dengan pasti bahwa yang ini “salah” dan yang itu “benar”.


Kategori salah dan benar yang kemudian kita rangkum dalam “hukum agama” pada intinya hanya “tangkapan” kita sebagai manusia fana. Definisi yang kita buat tersebut hanyalah bersifat sementara atau tidak abadi, dengan demikian tidak bisa digunakan sebagai patokan mutlak untuk menilai atau menghukum sesuatu yang sifatnya sementara pula. Apalagi jika kita menegaskannya sebagai “inilah suara Tuhan!”. Saya pikir, itu kebablasannya kita sebagai manusia tak tahu diri.


Oleh karena itu, bagi saya yang terpenting adalah bagaimana kita harus menunda saja kebenaran dan menerima fakta bahwa keilahian tidak bisa didefinisikan. Ini berarti menerima secara legowo (lapang dada) bahwa maksud Ilahi juga tidak bisa direduksi menjadi sekadar perangkat aturan atau “syariat”. Jadi, kita tidak bisa bilang bahwa “Tuhan ngomong begini” atau “Tuhan menghukum pezina dan harus dirajam”. Sebab, bagaimana kita bisa membuktikannya secara empiris bahwa Tuhan berbicara pada si fulan atau fulanah bahwa si pezina harus dirajam?


Tidak akan pernah ada yang namanya bukti empiris bahwa Tuhan berbisik pada seseorang supaya orang yang berzinah dirajam. Dengan demikian, saya mungkin bisa dikatakan “kafir” karena meragukan ada orang spesial yang secara khusus dipilih menjadi utusan Tuhan. Saya sejujurnya tidak percaya akan hal-hal supernatural semacam itu. Apa yang ada ialah natural. Apa yang orang dengar dari alam semesta melalui telinga adalah semilir angin, kicau burung, canda tawa anak kecil, dan hal-hal yang natural serta empiris. Terserah orang mengatakan bahwa dia “mendengar” Tuhan berbisik padanya secara pribadi dan beberapa orang percaya padanya, namun satu-satunya yang tidak bisa lakukan adalah melakukan pemaksaan supaya orang juga meyakini apa yang dia yakini.


Inilah mengapa kefanaan kita akan selalu dan selamanya membatasi kita untuk meraih kebenaran absolut. Kondisi kefanaan kita selalu membatasi penilaian kita bahwa peraturan yang ini atau yang itu adalah “kebenaran”. Tetapi, kondisi kefanaan jangan dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau rendah. Achilles, tokoh dalam karya Homerus, Iliad, berkata, “The gods envy us” atau “dewa-dewi (atau Yang Ilahi) cemburu pada manusia”. Kalimat itu mengandung makna, kefanaan kita justru merupakan anugerah, karena kita memiliki hidup untuk digunakan secara optimal sebelum akhirnya kita menemui ajal. Segala batasan, seperti waktu, jasad, pemikiran yang kita punya sangat berharga. Bandingkan dengan Yang Abadi, tidak berbatas atau timeless. Karena itulah, kefanaan manusia merupakan nilai yang sangat berharga, karena bagi kita, “sekali berarti, sesudah itu mati”.


Kembali ke kemanusiaan

Dari situ, kita bisa melihat bahwa nilai manusia itu amat berharga. Nyawa manusia dan jasad yang dipunyainya adalah permata bagi kita sendiri sebagai makhluk berakal. Sekarang katakan, bagaimana caranya hukuman rajam dapat meninggikan nilai manusia?


Kita perlu melihat bahwa pada dasarnya manusia itu baik, dikasih akal untuk berpikir yang terbaik. Jadi, akal harus digunakan secara optimal, untuk merumuskan hukum yang baik dan menjunjung tinggi martabat manusia (memanusiakan manusia atau humanis). Bagaimana bisa dikatakan bahwa hukuman rajam, gantung, cambuk, potong tangan, sebagai produk hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia? Pada dasarnya hukum seperti itu sengaja merendahkan manusia hingga layaknya binatang yang didera, disiksa, ditimpuki karena dianggap jijik atau tidak pantas hidup di tengah-tengah masyarakat. Karena apa? karena dia dianggap lebih rendah dan lebih tidak berharga dibanding kita.


Penyiksaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang harus kita junjung tinggi sebagai manusia yang beradab. Seperti kata spiritualis Neale Donald Walsch, bahwa jika kita berpikir manusia itu pada dasarnya buruk dan jahat, maka kita akan bikin peraturan yang membuat manusia selalu punya kecenderungan jahat. Hukum rajam dan penyiksaan, hukuman mati memiliki landasan bahwa manusia harus dihukum seperti itu supaya jera. Tetapi itu berarti melihat manusia sebagai makhluk yang bodoh atau idiot sehingga jahat. Lingkaran setan akan terus berputar, masalah tidak akan selesai.


Apa manfaat atau benefit yang bisa didapat dari situ? Tidak ada. Cuma ketakutan orang supaya tidak melanggar peraturan, karena jika melanggar, hukumannya berat. Ini seperti mengatakan, saya beribadah karena takut masuk neraka. Sekarang coba kita ingat lagu milik Chrisye: “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud padanya?”. Itu adalah sentilan terhadap orang yang beribadah atau bermoral hanya karena dia takut nantinya tidak masuk surga. Bukankah iman seperti itu adalah iman yang rendah? Jadi tidak heran mengapa kecenderungannya sekarang lebih mementingkan “religious by fashion” dan berlomba-lomba menjadi yang paling alim seakan-akan dia yang paling suci sendiri.


Orang yang menetapkan dan mendukung hukuman rajam biasanya berargumen bahwa itulah yang diperintahkan di kitab suci atau dititahkan oleh utusan Tuhan. Mereka membaca kitab seperti seakan-akan itu berlaku di semua jaman. Padahal bandingkan, berapa berbedanya dunia kita sekarang dengan 2000 tahun yang lalu. Penulis keturunan Mesir dan Perancis, Amin Maalouf, mengatakan: “Tradisi memang harus dihormati, tetapi hanya sejauh tradisi itu dapat dihormati.” Artinya, tradisi yang buruk toh dapat dibuang tanpa kita harus merasa telah mengkhianati tradisi. Penyiksaan dapat kita hilangkan tanpa harus kita merasa bahwa kita tidak mematuhi hukum agama.


Karen Armstrong, pemikir agama dan penulis Sejarah Tuhan, menghimbau kepada para penganut agama di seluruh dunia melalui proyek kerja samanya dengan sejumlah pemuka agama yang tergabung dalam “Charter for Compassion” (Piagam Belas Kasih): agar semua agama di dunia kembali ke Nilai Emas (Golden Rule) yang diajarkan dalam agama. Golden Rule yang universal tersebut berbunyi: “Lakukan apa yang kamu ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika dibalik, artinya “jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika Anda ingin orang lain baik kepada Anda, maka jangan jahati dia dong. Jika Anda tidak ingin kriminal merajalela, jangan berikan hukuman yang negatif. Itulah mengapa di beberapa negara dengan hukum progresif, yang diterapkan kini adalah “Harm Reduction”, terutama dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang dan pelacuran.


Dalam pernyataannya, Karen menekankan pentingnya agama kembali mengajarkan bagaimana supaya kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan:


Compassion doesn’t mean feeling sorry for people. It doesn’t mean pity. It means putting yourself in the position of the other, learning about the other. Learning what’s motivating the other, learning about their grievances.” (Belas kasih bukan berarti menyesali keadaan orang lain. Bukan berarti merasa kasihan. Belas kasih berarti menempatkan diri Anda pada posisi orang lain, memahami orang lain. Memahami apa yang menjadi motivasinya, memahami keluh kesah mereka.)


Karen juga berkata kepada generasi ini, bahwa agama harus berevolusi. Jika tidak, agama itu akan ditinggalkan oleh pengikutnya, karena penganutnya melihat betapa agama itu malah terbelakang dan tidak menjawab tantangan jaman. Makanya saya tak heran bahwa banyak penganut kedua agama besar (Islam dan Kristen) yang menjadi atheis dan agnostik--seringkali dengan geram--karena mereka sadar bahwa agamanya keukeuh tidak mau fleksibel dan tidak bisa menjawab kebutuhan spiritual masing-masing individu. Itu karena kecenderungan oknum fanatik yang menafsirkan aturan agama secara tekstual, tidak melihat konteksnya.


Melihat konteks berarti membaca semangat jaman, membaca konteks sosial, semakin mengerti bahwa manusia harus menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih mana yang bermanfaat, mana yang tidak bagi kemanusiaan secara umum. Dengan membaca, berdiskusi, bertukar pikiran, bersikap terbuka, selalu bertanya, selalu ingin belajar, kita akan terhindar dari kebodohan dan kesempitan berpikir seperti katak dalam tempurung. Karena seperti kata filsuf Yunani, Socrates: “Hanya ada satu kebaikan, yaitu pengetahuan, dan satu kejahatan, yaitu kebodohan.”


Kebodohan adalah karena dia tidak berpengetahuan, dalam arti bahwa si orang itu menutup diri dari the best available knowledge di sekitar dia. Dia tidak mau membaca konteks jaman, tidak bisa membaca apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Itu artinya dia bersikap ignorant. Ignorance atau pengingkaran dalam hal ini tidak mau mendengar bahwa ada suara-suara lain. Suara yang lain itu niscaya selalu ada, perbedaan selalu ada, pluralisme itu sudah pasti. Dengan demikian, kebenaran dikontestasikan, di-floor-kan, dilempar ke ruang debat, dipertanyakan, ditelusuri akar-akarnya, yang nantinya akan ditemukan bahwa apa yang kita tahu itu sebenarnya terbatas, terpecah-pecah, terfragmen. Itulah juga mengapa Socrates bilang lagi, “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang tidak tahu”. Itu berarti, apa yang kita tahu sebagai kebenaran itu sifatnya selalu sementara, bergantung tempat, waktu dan dinamis, berbeda-beda dan tidak bisa diabsolutisasi atau difinalkan.


Jadi, apa yang perlu ditekankan oleh orang yang beragama adalah, maukah bersikap kritis terhadap apa yang kita anggap sebagai “kebenaran”. Sebab, apa yang bisa kita lakukan adalah menunda kebenaran dan bersemangat dalam pencarian. Akal sehat harus digunakan untuk menciptakan peradaban yang lebih baik, yang lebih memanusiakan manusia dengan menghormati atau tidak merendahkan jasad ini dengan melakukan penyiksaan atau hukuman mati. Sebab, justru dengan tubuh, akal kita bisa terbentuk menjadi pemikiran, peradaban, di mana kita hidup bertetangga dengan orang yang berbeda, bahkan orang yang pemikirannya tidak kita setujui sama sekali.


Wahai orang “sok” suci, jangan mengangkangi alam semesta yang lebih besar daripadamu

Hukuman rajam adalah sebentuk absolutisme yang dipegang teguh karena dianggap sebagai kebenaran atau hukum yang tidak bisa diganggu gugat. Di situ ada kecacatan dalam konsep berpikir logis dan merupakan iman yang dangkal, karena menganggap dirinya mampu menguasai kehendak alam semesta, padahal dia cuma manusia fana. Dia tidak sadar bahwa kita bersifat sementara, keadilan kita hanya sementara dan bisa dibuktikan salah di hari lain.


Sebab, dari mana dia tahu bahwa orang yang ini akan masuk neraka dan dirinya tidak? Dari mana dia tahu bahwa setelah mati kita akan ke surga atau neraka? Dari mana dia tahu bahwa di neraka ada setrikaan raksasa dan bahwa neraka dan surga masing-masing ada 7 lantai? Apakah dia pernah berkunjung ke sana dan balik lagi ke dunia manusia untuk bercerita? Apa kau benar-benar yakin? Dari mana dia yakin bahwa kita kalo mati akan ada kehidupan setelah mati dan bukan reinkarnasi? Dari mana dia yakin bahwa kalo kita mati akan ada reinkarnasi dan bukan kehidupan setelah mati? Kenapa bukan tidak ada apa-apa setelah kita mati? Kenapa Anda yakin juga dengan itu? Memangnya Anda sudah pernah mati?


Semua itu hanya konseptual, sesuatu yang belum pasti karena tidak ada bukti memadai. Dengan demikian, hanya eksis di dunia ide. Lalu kenapa kita masih direpotkan dengan urusan setelah kematian? Biarkanlah itu tetap jadi sesuatu yang di luar kuasa kita. Bukankah menjadi orang beriman adalah mengakui bahwa kita tidak berkuasa dan satu-satunya yang berkuasa adalah Sang Pencipta? Bahwa kita bagaikan butir pasir di tengah jagat raya yang tak terhingga? Jadi, bagaimana bisa seseorang menyatakan bahwa dirinya jauh lebih benar dan suci daripada orang lain, padahal dia sendiri juga tidak punya kuasa apa-apa?


“Berpikirlah layaknya makhluk fana”, begitu kata salah satu Delphic Maxims atau Pepatah Delphi yang saya dalami. Apa yang harus kita lakukan sebagai manusia sebenarnya tidak rumit: Kita hanya perlu berlaku dan berpikir sebagai manusia. Jangan menganggap bahwa kita dapat menjadi atau menyamai seperti Yang Abadi, padahal tidak mungkin mendefinisikan maksud Yang Abadi dan mereduksinya ke dalam sebuah kotak bernama “kebenaran” dan “keadilan”. Kita harus berpikir sesuai tabiat kita, bahwa ketika kita tidak tahu, ya kita tidak tahu, jangan belagak kita yang paling tahu atau paling suci sendiri.


Saya cuma berharap, umat beragama dapat membedakan beragama karena rasa takut dan beragama karena rasa takjub. Beragama karena takut masuk neraka adalah beragamanya orang bodoh, sebab dia menjadikan agama sebagai topeng untuk menutupi ketidaktahuannya dan belagak jadi orang tahu (bukan mengakui secara jujur bahwa dia tidak tahu). Dia juga menganggap bahwa dirinya lebih worthed daripada orang lain yang tidak beragama seperti dia.


Beragama karena rasa takjub adalah beragama dengan ugahari, sederhana, sambil mengakui bahwa ada alam semesta yang lebih besar daripada dia, bahwa dia mengakui kemanusiaannya dan tetap berpijak di bumi. Hukuman rajam itu berasal dari beragama karena rasa takut. Takut si pezina mengkontaminasi masyarakat, maka bunuhlah dia. Takut si pezina mengajak kita ramai-ramai ke neraka, mending bunuhlah dia saja sebagai tumbal atau kambing hitam. Padahal, siapa sih yang tak pernah berdosa? Bagaimana kita bisa tahu pikiran Tuhan bahwa orang itu lebih berdosa daripada kita? Atau bahwa Ibu A lebih berdosa daripada Ibu B? Anehnya, masih banyak orang yang ingin berlomba-lomba melempar batu pertama atau memaki dan meludahi paling keras si terdakwa yang menghadapi tiang gantungan.


Dengan demikian, saya berkesimpulan, sifat megalomania dalam diri pendukung dan penetap hukuman rajam adalah sifat yang senang mengangkangi alam semesta. Dia tidak tahu bahwa alam semesta punya caranya sendiri untuk menghukum yang bersalah dan itu bukan hak kita sebagai makhluk kecil, sebutir pasir di tengah jagat raya.

Dia tidak tahu bahwa ada karma, atau sebab akibat, atau nemesis (retribusi) atau Golden Rule. Bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Keangkuhan (hubris) bahwa dia merasa tahu kebenaran akan menghasilkan angkara murka. Akal dan penyelidikan yang tidak dioptimalkan akan menghasilkan kebutaan dan fanatisme. Hukuman yang merendahkan kemanusiaan akan membuat kita selalu melihat bahwa manusia dan nyawanya tidak ada nilainya seperti daun kering yang mati.


Malulah mereka yang merasa jadi wakil “kebenaran” Yang Abadi dan menghukum orang lain menurut apa yang dia ketahui (padahal dia tidak tahu apa-apa). Padahal nantinya mereka sendiri juga tidak bernilai apa-apa ketika digerogoti oleh cacing tanah. Siapakah kalian, wahai hakim, penguasa, ulama, algojo, masyarakat yang haus darah? Apakah kalian sendiri bersih dari noda dosa? Semut di seberang lautan terlihat, sementara gajah di pelupuk mata tak nampak--sepertinya itu yang terjadi pada kalian, wahai orang yang mengaku suci!



Jakarta, Jumat 18 September 2009

04.30

Grace Dwitiya Amianti



Foto: Mahmoud Asgari & Ayaz Marhoni, dua remaja yang dihukum mati dengan cara digantung, di kota Mashhad, Iran (19/7/05). Mereka dikenai tuduhan pemerkosaan anak di bawah umur, homoseksualitas, dan pencurian.
Sumber: http://www.ncr-iran.org/content/view/222/69/


Saturday, May 9, 2009

59 Kata Per Menit - Tes Kecepatan Mengetik

59 words



Saya mengetik 59 kata per menit.

Check this out:
http://indonesian-speedtest.10-fast-fingers.com/

Saturday, April 25, 2009

Studi di Belanda, Tiket Masuk ke Komunitas Global


Orang sering menggambarkan Negeri Belanda dengan kincir angin, bunga tulip, sepatu kayu (klompen), lukisan Vincent van Gogh, sepeda, dan keju Edam. Tetapi ketika saya di bangku SD pertama kali mendengar tentang negara itu, saya justru takjub karena orang-orang di sana hidup di bawah ketinggian air laut. Nalar saya saat itu belum cukup bisa menangkap apa maksudnya. Tetapi ketika sudah semakin mengerti ilmu bumi dan fisika, saya baru memahami sepenuhnya. 

Negeri mereka, “Netherlands”, secara harfiah memang berarti “Tanah Rendah”. Negeri itu memiliki dataran yang rendah dan flat karena persis terletak di delta sungai-sungai besar di Eropa. Laut Utara yang ganas pada musim tertentu dapat mengirim banjir yang dahsyat bagi dataran negeri itu. Apa yang membuat saya takjub adalah bahwa orang Belanda mau memutar otak untuk membuat teknologi penangkal banjir. Mereka menemukan cara untuk mengakali air bah dengan penghalang raksasa yang disebut The Delta Project. Tapi teknologi ini bukan sekadar tanggul banjir biasa. Teknologi ini merupakan suatu pengaturan air secara luas di seluruh negeri itu, yang juga termasuk pembangunan kanal-kanal, kolam-kolam (polders), dan aliran sungai yang terjaga dengan baik. Pasti butuh niat besar untuk membangun itu semua...dan tentu saja butuh sangat banyak dana untuk membiayainya. Saya pun mencari akarnya. 

Pelopor Multi-National Company

Sejak awal abad ke-17, Negeri Belanda telah dikenal sebagai negeri yang cukup maju, karena kemakmurannya ditopang oleh perdagangan internasional. Memang, bagi orang Indonesia, VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie/Serikat Dagang Hindia Timur)--yang akrab dipanggil dengan istilah “Kompeni”--meninggalkan kenangan yang buruk akan penjajahan di masa lalu selama 350 tahun. Namun, setelah era kolonialisme lewat, Negeri Belanda tetap menjadi pemain terdepan dalam perdagangan internasional. 

Perekonomian Belanda dibangun berdasarkan orientasinya yang internasional dan inovatif, serta letaknya yang strategis di jantung benua Eropa. Pelabuhannya yang terbesar, Rotterdam, adalah pintu masuk ke benua Eropa. Rotterdam juga sempat menjadi pelabuhan terbesar di dunia, setelah akhirnya pada tahun 2004 posisi tersebut diambil alih oleh pelabuhan Shanghai, Cina. Karena Rotterdam pula, Belanda memantapkan posisi sebagai satu di antara sepuluh negara pengekspor terbesar di dunia. Meskipun saat ini perekonomian dunia sedang diguncang prahara akibat krisis di Amerika Serikat, ekonomi kapital Belanda tetap bertahan lewat perusahaan-perusahaannya yang telah mengglobal, yaitu Shell, Unilever, Philips, ING, ABN-Amro, dan lain-lain. 

Cermin komunitas global

Sebagai konsekuensi terlibat dalam perdagangan internasional selama berabad-abad, masyarakat Belanda pun telah terbiasa bergaul dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Budaya-budaya non-Eropa pun turut memberikan warna-warni bagi kebudayaan Belanda. Tempat-tempat ibadah seperti gereja, mesjid, sinagog, berdiri berdampingan, dan orang-orang dari berbagai suku bangsa berbaur dengan bebas. 

Karena memiliki ikatan kesejarahan di masa lalu dengan Belanda, komunitas orang Indonesia pun termasuk yang cukup besar jumlahnya di sana. Sangat mudah untuk menemukan makanan Indonesia, serta warisan budaya seperti artefak-artefak masa lalu yang dahulu dibawa ke Belanda. Selain Indonesia, Belanda juga ramai dengan imigran dari negara-negara Asia dan Eropa lainnya, Afrika, dan Amerika Latin. Semua dengan tujuan yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda-beda, dan generasi yang berbeda pula. Inilah mengapa Belanda juga disebut sebagai negara yang multikultural. Negara pendiri Uni Eropa ini melindungi kemajemukannya lewat Pasal 1 dalam Undang-Undang Dasarnya, bahwa semua orang di Belanda tidak boleh didiskriminasi atas dasar apapun. Inilah ketegasan hukum Belanda, negara yang juga menjadi tujuan bagi para ahli hukum dan advokat di seluruh dunia yang ingin memperdalam bidangnya. 

Belajar di Belanda, berinteraksi dengan dunia

Satu bukti yang menonjol bahwa pendidikan di Belanda bertaraf internasional adalah bahwa program studi internasionalnya diadakan dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Belanda adalah negara pertama yang tidak berbahasa Inggris sebagai bahasa resminya, namun membuka 1000 program berbahasa Inggris untuk mahasiswa internasional. Mereka yang berminat belajar di Belanda pun tak usah berpikir dua kali apakah mereka harus belajar bahasa Belanda dahulu atau tidak, karena mereka bisa mengikuti seluruh perkuliahan dengan bahasa Inggris. 

Jayati Samanti, mahasiswi asal India yang belajar Ilmu dan Teknologi Lingkungan Hidup di Institut UNESCO-IHE untuk Pendidikan tentang Air di kota Delft, memiliki alasan utama yang memperkuat gambaran pendidikan Belanda sebagai pendidikan yang berwajah internasional. Dia melihat bahwa “mahasiswanya datang dari seluruh dunia, dan lembaga seringkali mengundang dosen-dosen tamu dari negara lain sehingga kita bisa belajar tentang apa yang terjadi di tempat lain.” Dia juga menjelaskan bahwa para profesor tersebut akan menghabiskan waktu untuk mahasiswa, kapan pun mahasiswa memerlukan mereka. 

Hal yang juga tak kalah menarik adalah bahwa keseribu program studi internasional tersebut mencakup bidang-bidang yang amat luas. Kurikulumnya intensif, selangkah lebih maju, dan berorientasi praktek, yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan yang paling khusus sekalipun. Hal ini juga diiyakan oleh Andy Suhartono, mahasiswa Indonesia yang belajar di bidang Manajemen Usaha Kecil & Pengecer, di Universitas Inholland Pendidikan Profesional, Haarlem: 

“Saya sangat terkejut dengan sistem belajar di Belanda. Semua programnya sangat kekinian dan Anda harus belajar tentang teknologi terbaru di dalam industri tersebut. Walau begitu, programnya tidak hanya mengembangkan pengetahuan saya, tetapi juga membuat saya menyalurkan keahlian saya ke dalam praktek. Belajar di Belanda membuka pikiran Anda dalam banyak hal juga, dan saya sekarang belajar untuk tumbuh dan hidup secara mandiri di sini.” 

Kenapa pendidikan di Belanda bisa mendapatkan penghargaan yang cukup tinggi di mata internasional? Hal ini tumbuh karena Belanda menjaga kualitas pendidikannya dengan sistem regulasi nasional dan jaminan atas kualitas masing-masing program. Pendidikan Belanda juga terkenal di seluruh dunia dengan sistem belajarnya yang berpusat pada pemecahan masalah. Mahasiswa dilatih untuk menganalisis dan mencari solusi atas sebuah masalah secara mandiri. 

Dari sistem pendidikan yang berkualitas dan bertaraf internasional tersebut, mahasiswa dapat pula mengambil keuntungan lain yang berupa keterbukaan dalam berpikir. Mahasiswa yang belajar di Belanda didorong untuk berpikir secara mandiri dan inovatif, inilah yang menyebabkan betapa prinsip “be yourself” dan sikap percaya diri dihargai dalam masyarakat Belanda. Ji Jing, mahasiswi asal Cina yang sempat berkuliah di bidang Hukum Bisnis Internasional, Universitas Leiden, menggambarkannya dengan tepat: 

“Di Cina, pemikiran orang kadang-kadang terbatas, tetapi di sini mata kita terbuka ke seluruh penjuru dunia. Saya sangat bisa menjadi diri sendiri di sini dan merasa diterima. Di Belanda, orang menerima Anda sebagaimana adanya Anda; setidaknya, itulah pengalaman saya. Bonus tambahan yang saya dapatkan adalah bahwa saya menjadi lebih percaya diri berbicara bahasa Inggris. Saya yakin bahwa kepercayaan diri yang baru ini akan membantu saya dalam karier profesional saya ke depannya.” 

Menjadi terbuka, mandiri, dan inovatif dalam berpikir. Itulah yang ditawarkan melalui studi di Belanda. Ciri-ciri tersebut adalah tiket yang harus kita bawa untuk bisa masuk ke komunitas global dan berinteraksi dengan masyarakat dunia. Buat saya, hal tersebut sudah menjadi jawaban bagi mereka yang selalu mengatakan bahwa tidak ada hal positif yang bisa dipelajari dari mantan penjajah. 

 

Referensi:

Why Study in Holland (http://www.studyin.nl)

Ministerie van Buitenlandse Zaken (http://www.minbuza.nl)

Wednesday, April 8, 2009

Hymne Untuk Gaia (Biarkan Bumi Bernafas Sejenak - Earth Hour)


Gaia, Ibu Bumi yang berdada subur,

bertubuh gembur,

Penyokong segala yang bernafas,

Penopang segala yang berjalan di atas

wajahmu, Pemberi anugerah berbuah-buah,

panen ladang melimpah ruah.

 

Kau sediakan energi setiap hari,

Kau tumbuhkan tunas-tunas hijau baru takkan mati,

Kau berikan berkat tak terkira ‘tuk kami,

Kau bermurah hati pada manusia meski kami sering tak sadari,

justru kami selalu sakiti wajahmu berkali-kali.

 

Milyaran beton tusuki setiap sudutmu wahai dewi,

kami pangkas ribuan hutan hujan,

kayu-kayu harummu jadi perabot mewah kesayangan.

Dari dalam perutmu kami sedot emas hitam,

kami gunakan habis-habisan hingga langit menjelaga kelam,

melubangi selubung pelindung,

hingga panas cahaya Helios mengepung

seluruh permukaanmu, melelehkan sudut-sudutmu yang terdingin di ujung-ujung,

menaikkan amarah Poseidon yang menopang laut-lautmu,

menggusarkan para Anemoi yang bertiup ganas hingga nelayan tak mampu berburu.

 

Oh Ratu Kehidupan, Ibunda yang mahakaya,

Gaia yang tua, Bumi yang purba,

ajari kami ‘tuk selalu menjaga

segala hadiahmu, agar selalu lestari

tempat tinggal kami.

Ajari kami ‘tuk selalu menanam kembali

bebuahan yang telah kami cabuti,

“karena engkau yang menjangkarkan dunia kekal dalam kami” (1)

 

Gaia sang penumbuh dan sang penghancur,

Ibunda yang kukuh dan luhur,

“Kau berikan dan kau ambil kembali

setiap hidup manusia fana, kau beri

kekayaan pada mereka yang menghormati

dan menyenangkan hatimu wahai dewi Bumi.” (2)

 

Ingatkan kami ‘tuk selalu merawat

lingkungan kami agar selalu sehat

sehingga kami dapat berjiwa kuat.

Inilah ucapan syukur kami pada musim baru,

berikanlah segala bebuahan yang ‘kan kami rayakan dengan haru,

agar kami tak berhenti bernyanyi untukmu.

 

(1) dicuplik dari Hymne Orphic untuk Gaia

(2) dicuplik dari Hymne Homeric untuk Gaia

 

Selasa, 31 Maret 2009

Photo courtesy: www.paleothea.com


Definisi RUU Pornografi yang (Masih Saja) Bermasalah

I really-really hate to read this definition:

(Pasal 1)

“Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”

THE REALLY DUMB PHRASE: “Pornografi adalah materi seksualitas…”

How could anyone think of such unreasoned and illogical statement? Pornografi bukanlah ‘serta-merta’ materi seksualitas! Dan tidak semua ‘materi seksualitas’ adalah pornografi! (Ini jelas-jelas sudah meruntuhkan berbagai penjelasan pengecualian di halaman-halaman belakang, bahwa ada materi seksualitas yang dikecualikan dan tidak dianggap pornografi). Tapi karena di halaman pertama ada kecerobohan yang dipertahankan seperti itu, maka asumsinya masih sama, yaitu ‘semua materi seksualitas adalah pornografi’. Jelas ini tidak dapat dipertanggung-jawabkan, karena ini mengisyaratkan kecenderungan konsep tertentu, yang semata-mata melihat seksualitas itu sendiri sebagai sesuatu yang terlarang. Di halaman pertama pun, RUU ini sudah berbau non-humanis dan mengingkari salah satu fitrah manusia yang diberikan Tuhan, yaitu seks.

Definisi pornografi dalam RUU Pornografi ini masih kabur dan tingkat ambivalensinya masih tinggi. Pertama, dia tidak membedakan pornografi dengan erotika. Kedua, terdapat kesalahan linguistik: ‘suara’ dan ‘bunyi’ tidaklah termasuk ‘grafi’ atau ‘gambaran’. Ketiga, terlalu mempermasalahkan frase ‘membangkitkan hasrat seksual’. Memangnya kenapa kalau membangkitkan hasrat seksual? Tidak ada yang salah ketika hasrat seksual seseorang terbangkitkan (karena itu SANGAT manusiawi, coz kita itu makhluk seksual!! If you don’t believe this, then you’re actually not a human. If you’re not a human but you don’t want to be called an animal or a plant, then I don’t know WHAT you are). Yang salah adalah ketika dia memaksakan hasratnya itu kepada orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan. Kesalahan seseorang tidak terletak pada hasrat seksual an sich, tapi pada tindak lakunya yang memaksa, melecehkan, dan memerkosa seseorang karena dorongan seksnya. (Anyway, karena definisi dasarnya sudah tidak masuk akal, jelas kesana-sananya kita melihat kerangkanya tidak jauh dari moralitas yang naif, walaupun katanya sih sudah sangat sempurna).

Definisi ini masih penuh dengan aroma somatofobia, alias benci tubuh manusia. Seharusnya definisi pornografi yang tepat adalah bukan lantas mengharamkan tubuh atau seks itu sendiri (dengan menajiskan hasrat seksual yang bangkit), tapi definisi pornografi yang tepat adalah penyalahgunaan seks yang dehumanis, merendahkan kemanusiaan seseorang, sehingga ada unsur pemaksaan dan perbudakan di sana, dan bukan karena keinginan dan kerelaan sendiri. Definisi RUU Pornografi masih melihat seks sebagai sesuatu yang secara inheren ‘buruk’ di dalam dan pada dirinya sendiri, dan bukan sesuatu yang netral. Padahal seks bersifat netral (ingat analogi pisau, berguna di tangan seorang juru masak, berbahaya di tangan seorang penjahat), tapi kemudian dalam kehidupan sosial berubah menjadi politis dan penuh nilai-nilai yang bertubrukkan ketika banyak tarik-menarik kepentingan individu dan kelompok. Jelas definisi pornografi menurut RUU ini tidak mengikuti pakem humanisme (apalagi feminisme). Definisi yang naif ini menyiratkan bahwa sebisa mungkin manusia harus mengingkari kemanusiaannya sendiri, yaitu seks, karena seks itu najis secara inheren. Orang Indonesia awam dipaksa sebisa mungkin hidup asketis alias menjauhi hal-hal yang bersifat ‘keduniaan’, padahal ini jelas-jelas tidak mungkin dilakukan, kecuali kalau anda tinggal di biara dan bersumpah menjadi aseksual seumur hidup. Seks adalah bagian dari kehidupan juga, dan tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah ketika seks disalahgunakan sehingga menjadi sebentuk kriminalitas, dalam hal ini adalah pornografi (walaupun menurut saya pornografi itu sendiri dari dulu selalu kontroversial, ambigu, suatu masalah yang bermuka jamak, tak pernah selesai dikonsepkan, dan tidak ada ketok palu untuk menilainya. Jadi saya sebenarnya secara konseptual lebih memilih istilah ‘kriminalitas seksual’ ketimbang ‘pornografi’, tapi karena konteksnya sangat perlu untuk memakai kata ‘pornografi’, ya sudah saya ambil jalan pintas.) Tapi RUU Pornografi memang buta terhadap humanisme yang menganggap seks sebagai sesuatu yang wajar. RUU Pornografi mencampur-adukkan seks dan seksualitas yang humanis dengan pornografi yang dehumanis. RUU ini mengaburkan batas antara erotika dan sensualitas sebagai salah satu kekuatan hidup, dengan persetubuhan banal yang penuh pemaksaan dan tidak berperasaan, terutama terhadap perempuan. RUU ini somatofobik, bahkan munafik, karena ignorant(mengingkari) terhadap sesuatu yang dialaminya sehari-hari, dan hanya mengejar penampakan lahiriah ketimbang batiniah. Mengejar kesalehan di luar, padahal di dalam batinnya dan tubuhnya sesuatu yang sifatnya alamiah sedang dipapas dan dibodohi. Bukannya ini tidak berperikemanusiaan? 

Jelas moralitas yang dipakai dalam RUU ini berasal dari konsep-konsep agama tertentu, karena sebenarnya banyak agama lain yang tidak melihat seks sebagai sesuatu yang najis atau harus dihindari. Memang, semua agama punya kebajikan universal bahwa tidak baik untuk seseorang mencemplungkan diri ke dalam sesuatu yang ‘kotor’, tapi apa yang ‘kotor’ ini definisinya sangat berbeda-beda tiap agama, dan tidak semua agama punya ukuran yang sama dalam melihat ‘kekotoran’ ini. Apa yang dianggap ‘kotor’ dalam suatu agama, bisa dianggap ‘biasa’ dalam agama lain. Ini saya pikir jadi salah satu alasan penolakan mayoritas warga Bali (yang mayoritas Hindu) terhadap RUU ini, karena mereka melihat, walau sudah direvisi, RUU ini masih mengandung satu jenis suara saja alias monolitik. Kasarnya, kalau tari sensual dalam agama Islam dianggap haram, di dalam agama Hindu justru dirayakan. Makanya, pendapat yang ingin disuarakan oleh masyarakat Hindu Bali bukanlah soal budaya, pakaian, atau kemben semata, tapi sebenarnya secara kompleks menyangkut konsep-konsep agama mereka sendiri. Mereka tidak bisa dengan serta-merta menerima konsepsi umum bahwa tarian yang mengandung unsur erotis adalah ‘haram’, karena mereka tidak kenal dengan konsep seperti itu. Apa yang dianggap orang lain ‘buruk’, menurut orang Bali justru ‘indah’. Seorang teman saya yang beragama Hindu Bali pernah menjelaskan perbedaan konsep ini, dan bahwa bagi mereka ‘tarian’ adalah bentuk kesenian yang menjadi pemberian Sang Pencipta, maka itu manusia memuja-Nya dengan tarian, dan gerak tariannya pun penuh sensualitas dan penuh tenaga, bentuknya pun bermacam-macam, dan tak ada ritual-ritual Hindu Bali yang tanpa tarian. Makanya saya bingung, kenapa para pembuat RUU ini dan yang pro masih tidak bisa melihat konteks penolakan kelompok tertentu secara subtil dan mendalam. Jelas karena yang mayoritas sebenarnya tidak pernah mau mempelajari apa sih sebenarnya yang diyakini orang lain/yang minoritas, supaya jangan ada yang tersinggung atau merasa disepelekan. Yang mayoritas menganggap moralitasnya adalah moralitas yang paling benar, jadi yang lain sebagai minoritas mending ngikut saja sama yang jumlahnya banyak.

Kemudian yang masih berhubungan dengan definisi yang bermasalah adalah soal ‘tujuan pengaturan pornografi’ yang campur-aduk:

(Pasal 3)

“Pengaturan pornografi bertujuan:

a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;

c. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan

d. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.”

As I would suggest, buanglah poin ‘b’, karena masalah ‘pornografi’ basisnya bukanlah masalah seberapa baik ‘moral dan akhlak’ seseorang, tapi soal kriminalitas. Orang yang berkepribadian luhur atau bermoral dan berakhlak baik hari ini tidak menjamin bahwa dia tidak akan melakukan kriminalitas di hari lain. Dan orang yang tidak pernah melakukan tindakan kriminal bukan semata-mata karena dia ‘bermoral dan berakhlak baik’, tapi karena memang dia sudah ‘terbiasa’ mengetahui mana yang ‘baik’ dan mana yang ‘buruk’, tanpa harus diberikan ‘pembinaan dan pendidikan moral dan akhlak’ lewat suatu produk hukum atau Undang-Undang. Produk hukum tidak bertujuan untuk memberikan pendidikan moral, tapi untuk ‘menghukum’, menilai tindakan seseorang apakah dia bersalah atau tidak. Pembinaan moral adalah tugas dunia pendidikan, keluarga, dan agama, dan sama sekali tidak menjadi tugas dari sebuah perundangan dan aparatur negara. Kriminalitas tidaklah berhubungan secara langsung dengan ketiadaan moralitas atau akhlak. Kalaupun saling berhubungan, kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Banyak orang yang mencuri/merampok bukan karena moralnya bejat, tapi semata-mata karena perutnya lapar dan dia punya anak yang juga harus dikasih makan. Dan banyak orang memerkosa bukan karena dia ingin lebih banyak seks, tapi karena dia ingin lebih banyak kekuasaan, dan mencari siapapun yang bisa dia taklukkan (ini lebih karena soal psikologis dan bukan akhlak).

Maka setiap orang berpotensi melakukan tindak kriminal, walaupun dia berakhlak sempurna seperti makhluk surga dan amat sangat saleh bahkan debu pun tak mau menempel di pakaiannya. Jangan hanya karena semata-mata anda adalah orang saleh, maka anda bebas menyebut diri anda sebagai orang yang tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Janganlah menggunakan tameng ‘moral dan akhlak’ untuk menutupi realita bahwa manusia pada dasarnya adalah selfish individual, yang punya kehendak bebas untuk memilih apapun. Apa yang disebut ‘moral dan akhlak’ tidaklah inheren atau menempel sampai orang itu mati, tapi manusia adalah makhluk yang dinamis dan mempunyai banyak hal untuk dipikirkan dan diperbuat (karena manusia dianugerahi nalar, dan tidak seperti binatang yang hanya bertindak secara naluriah belaka). Ini adalah basis berpikir humanisme, bahwa manusia tidak dapat dilihat secara inheren lewat moralitas yang sifatnya abstrak, tapi harus dilihat dari tindak lakunya, apa yang real sebagai bukti perbuatannya, apa yang dia lakukan sebagai manusia. Tidak ada urusan dengan nilai-nilai pribadinya atau bagaimana imannya, karena yang penting adalah apakah dia berperilaku dengan etika atau tidak di kehidupan sosialnya. Apakah dia rasional atau tidak. Dan bukan apakah dia berakhlak/bermoral atau tidak. Orang yang akhlaknya setinggi apapun dan keimanannya sekuat apapun, tapi kalau dia berlaku tidak etis terhadap orang lain (misalnya memaksakan pendapat pribadi dengan cara-cara kekerasan) maka dia adalah bajingan, by any means. Maka, moralitas/akhlak harus dibedakan dari etika. Moralitas bersifat abstrak dan hanya dapat dipikirkan, sifatnya konseptual, dan ketika suatu konsep moral dipraktekkan, ia menjadi etika, yang sifatnya praktikal. Tapi ukuran moralitas tiap orang berbeda-beda, bahkan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Jadi ukurannya bukan moral dan akhlak, tapi etika, soal bagaimana kita hidup bersama orang lain yang berbeda dengan kita. Dan etika lagi-lagi bukanlah sesuatu yang diajarkan atau ditetapkan oleh sebuah undang-undang, etika adalah pembelajaran untuk hidup di antara banyak orang, yang tidak bisa diterapkan sehari-dua hari, tapi seturut dengan orang itu bertumbuh menjadi dewasa dan makin tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Karena itu, kalau memang poin ‘a’ sudah cukup berbicara banyak soal etika, tidak perlu memasukkan poin ‘b’, karena itu berarti negara melakukan intervensi terhadap pilihan-pilihan moral pribadi seseorang walaupun orang tersebut beretika dengan baik. Tidak usah repot-repot masuk ke dalam pilihan pribadi seseorang kalau toh orang tersebut bisa menghormati orang lain dan menerapkan kehidupan sosial yang harmonis.

Poin ‘b’ juga menyiratkan bahwa para pembuat RUU dan yang pro sebenarnya tidak percaya bahwa keluarga dan lingkungan sekitar tempat seseorang tumbuh bisa (dan selalu) melakukan pembinaan moral seorang anak sedari kecil, dan anak tersebut tidak akan tumbuh menjadi seorang anak yang bermasalah kalau keluarga itu sendiri tidak bermasalah. Orang-orang yang pro RUU Pornografi seringkali menekankan moralitas keluarga (family values), tapi lewat poin ‘b’, terbukti bahwa mereka sebenarnya tidak benar-benar percaya terhadap apa yang mereka koar-koarkan. Mereka sebenarnya apatis bahwa keluarga bisa melakukan pembinaan ‘moral’ terhadap anak, jadinya mereka menyerahkan pembinaan moral tersebut pada negara dan mencampakkan pengajaran etika di tingkat keluarga inti. Jelas ini konsep yang berbau fasisme dan romantisisme, ketika tugas keluarga dicaplok menjadi tugas negara yaitu ‘pengajar moral bangsa’ (Nazi memakai pola seperti ini, bahwa semua anak Jerman harus jadi manusia ras arya yang superior dalam segala hal, dan bahwa bangsa Jerman punya karakteristik terluhur yang pernah ada di muka bumi. Memang bagus, tapi efeknya angkara murka, 5 juta orang Yahudi—yang bukan ras arya—dibunuh karena konsep itu), dan menisbikan keragaman pola-pola moral yang berbeda di tingkat terkecil di setiap keluarga.

RUU ini melecehkan semangat keluarga inti dan lingkungan kecil tempat hidup sehari-hari dalam memberikan pelajaran moral untuk anak, dan mengangkatnya menjadi urusan negara (padahal banyak bangsa maju yang sudah trauma dengan konsep ‘negara sebagai pengajar moral bangsa’, gara-gara tragedi Nazi). Peran orang tua, tetangga, tempat ibadah, yang adalah kluster-kluster terkecil dan terdekat dalam pembentukan moral sehari-hari seorang anak Indonesia, yang sudah berjalan sejak dulu kala dan tenang-tenang saja, kemudian digoyang dengan adanya RUU ini. Saya jadi curiga, jangan-jangan para orang tua yang meratap agar RUU ini segera disahkan sebenarnya ingin lepas tanggung-jawab mendidik anak-anaknya dan menyerahkan pengurusan moral anak kepada negara? Jadi apa tugas orang tua? Ongkang-ongkang kaki nunggu anak dewasa trus menikah trus nunggu cucu-cucu brojol? Para orang tua yang meratap agar RUU ini segera disahkan sebenarnya adalah ciri khas orang tua modern perkotaan (namun taat beragama) yang tidak percaya diri dan khawatir anaknya suatu hari punya kecenderungan untuk menjadi bobrok. Ketimbang yakin dalam mendidik anak bahwa anaknya itu dibekali dengan akal budi yang baik, mereka justru adalah orang-orang tua yang pesimistis dan skeptis bahwa secara inheren anak adalah makhluk yang tidak pernah dewasa dan akan terus menjadi ‘anak-anak’, yaitu makhluk yang terus-menerus tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Orang tua sebenarnya tampak tidak lagi ‘berniat’ menjadi orang tua. Mereka tidak benar-benar berniat mengajarkan hal-hal baik pada anak-anaknya, entah karena krisis pede gara-gara anak sekarang berani berargumen, atau karena ‘menikah’ dan ‘membentuk keluarga’ saat ini sudah menjadi banal sifatnya, hanya karena formalitas saja, supaya ortu senang, atau supaya bu haji di sebelah rumah senang, dan bukan karena benar-benar ‘berniat’ membentuk keluarga. Mereka tidak sadar bahwa keluarga adalah entitas ‘bangsa’ yang paling terkecil tempat seorang individu dibentuk hingga dia sadar akan hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Mereka tidak sadar bahwa bukan hanya orang tua yang membutuhkan anak supaya cepat dewasa dan suatu saat mengurus orang tua kalau sudah sekarat, tapi anak pun membutuhkan orang tua sebagai teladan, sebagai sosok yang bisa mengerti isi-isi hati anaknya, pemikiran-pemikirannya, dan mau membimbingnya, sesibuk apapun orang tua di kantor atau kegiatan lainnya.

Para pembuat RUU dan yang pro terhadapnya, yang tampaknya adalah orang-orang tua perkotaan kelas menengah, jangan-jangan karena sudah kewalahan menghadapi perubahan sikap anak-anaknya, karena jaman yang sudah berubah, dan anak-anak yang lebih cepat tua dan kehilangan masa kanak-kanaknya, ingin menyerahkan tugas pengasuhan yang sebenarnya luhur ini kepada negara. Padahal negara sudah terlalu banyak urusan, banyak orang miskin di daerah perkotaan dan di desa-desa terpencil yang kelaparan, dan sebenarnya tidak peduli bagaimana ‘akhlak’, tapi yang mereka pikirkan terutama adalah bagaimana mencari makan. Negara tidak perlu mengurusi hal-hal privat yang menjadi tanggung jawab sebuah rumah tangga, apalagi sampai memaksakan diri untuk mendidik anak. Itu hanya akan membuat orang-orang tua Indonesia semakin malas berpikir, malas menjadi teladan, dan kerjanya cuma nunggu anaknya suatu saat ngebayarin piknik ke Bali di masa tua.

Kalau sudah seperti itu, RUU Pornografi adalah pelecehan terhadap keyakinan orang-orang tua itu sendiri, bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan ketika mereka telah dewasa, sudah saatnya mereka diberikan kebebasan untuk menentukan diri sendiri, dan budi yang baik dapat tercermin dari sikapnya. Kalau anak itu bobrok ya ada yang salah dengan pengajaran orang tuanya, dan bukan karena tidak ada RUU Pornografi! RUU ini pun menisbikan realita bahwa moralitas tiap keluarga berbeda-beda satu sama lainnya. Karena RUU ini sejak awal maksudnya sudah mengharamkan seks, maka RUU ini buta terhadap kenyataan bahwa banyak keluarga saat ini yang merasa amat perlu mengajarkan anak-anaknya tentang pendidikan seks (sex education). Sebenarnya banyak keluarga cukup cerdas untuk lebih baik memberikan pengertian yang benar tentang seks itu sendiri, ketimbang melarang apapun yang berhubungan dengan seks untuk dipelajari oleh anak. RUU ini membodohi masyarakat, dengan serta-merta menghilangkan pentingnya pendidikan seks sedari dini untuk anak, bahwa seks itu bukanlah untuk ditakuti. Justru ketika anak sama sekali tidak mengerti tentang seks, dan orang tuanya tidak mengajari apapun tentang itu, tidak menjadi teladan apapun, maka si anak mencarinya di luar domain keluarga. No wonder banyak anak sudah kenal film atau majalah porno sedari kecil. Ini justru bukan karena mereka punya ‘moralitas’ keluarga yang longgar dan liberal, tapi justru karena sikap yang puritan dan konservatif, mengharamkan seks sebagai salah satu pendidikan penting dalam keluarga, dan hanya boleh disentuh si anak ketika dia sudah cukup umur untuk menikah. Hasilnya, ketika menikah, dia menjadi produk lama dari kebiasaan orang tuanya, dan meneruskannya kepada anaknya, bahwa seks adalah sesuatu yang harus dijauhi, hanya boleh disentuh saat sudah menikah. Terus-menerus berulang seperti lingkaran setan. Ini adalah suatu ketidakadilan untuk anak-anak. Justru dengan niat kita melindungi anak-anak, kita harus mau memberikan pendidikan tentang seks, dan bukan semata-mata cuma melarang ini melarang itu, dan berkoar-koar supaya pornografi diberantas. Masalahnya bukan di luar rumah, pak, bu, tapi di dalam rumah anda sendiri. Bagaimana cara anda dalam mendidik anak, jangan serta-merta semuanya diserahkan pada negara, padahal tidak semua anak dan keluarga mengalami masalah yang sama dengan anak dan keluarga anda.

Ini seperti mengulang pepatah lama, bagaimana mungkin semut di seberang lautan amat jelas, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak? Bagaimana mungkin anda berapi-api menjadikan negara ini punya bangsa yang bermoral luhur, sementara di rumah pun anak anda melihat sosok anda sebagai orang tua yang kehilangan kharismanya? Anda tak melihat bahwa anak-anak anda sebenarnya kecewa dengan anda, yang bersikap seperti orang asing. And I’m not talking about sekedar akhlak atau ajaran agama, atau keimanan anak, tapi orang tua yang baik tahu bahwa etika sangat penting dalam kehidupan anak. Anak yang beretika bukan sekadar anak yang berakhlak, tapi juga anak yang seturut dengan pertumbuhannya, mengerti mana yang baik, mana yang buruk, dan pilihan-pilihannya itu adalah hasil dari rasionalitasnya yang berkembang dengan baik, dan bukan hanya sekadar disuapi orang tuanya mengenai baik-buruk. Kalau anda mengajarkan etika yang benar pada anak anda, anda tidak akan ketakutan sepanjang waktu apakah anak anda menjadi bobrok atau menjadi luhur. Anda tidak perlu takut akan masa depan anak anda yang suram karena pornografi merebak di mana-mana, karena anda yakin dan tahu bahwa anak anda adalah anak yang berakal budi dan bisa membedakan baik-buruk. Ini memang proses yang makan waktu lama banget ketimbang sekadar mengesahkan UU yang belum tentu menjamin anak anda berhenti mengkonsumsi pornografi. Tapi bukannya lebih mengagetkan bahwa anda punya anak yang saleh, rajin sembahyang, patuh pada orang tua, dan tampak alim tapi diam-diam dia menyimpan VCD porno dan komik hentai? Karena itu, buat apa bersusah payah mengejar kesalehan lahiriah tapi anda tidak membiarkan apa yang alamiah dalam tubuh anak anda berjalan sebagaimana adanya? Dan inilah kenapa saya berani mengatakan, persoalannya tidak terletak pada hasrat seks itu sendiri. Benar-benar naif, ignorant, tumpul, bodoh memang definisi RUU Pornografi itu.        

29 September 2008