Sunday, September 27, 2009

Hukuman Rajam dan Absolutisme: Refleksi Pribadi



Hadirnya Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Senin (14/9), membuat saya terhenyak. Di dalam peraturan tersebut, terdapat hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) untuk pelaku perzinahan. Selain itu, terdapat hukuman cambuk dengan rotan sampai 100 kali untuk homoseks. Secara keseluruhan, peraturan tersebut melarang konsumsi alkohol (khamar), perjudian (maisir), keintiman antara pasangan yang belum menikah (ikhtilath), perzinahan serta homoseksualitas (musahaqah dan liwath).


Sebelumnya, seperti yang dilansir oleh Amnesty International, Aceh sudah menerapkan hukuman cambuk rotan untuk beberapa pelanggaran, yaitu perjudian, pencurian, dan pencabulan. Pada tahun 2005, sebanyak 31 laki-laki dan 4 perempuan terdakwa perjudian dicambuk rotan. Tahun 2006, sebanyak 5 laki-laki dan 3 perempuan terdakwa perjudian dan perzinahan kembali dirotan. Kali ini, hukuman rajam ditambahkan dalam peraturan tersebut. Berarti, hukuman mati di depan publik sudah mulai diterapkan di Aceh, seperti yang terjadi di Republik Islam Iran dan sejumlah negara yang menerapkan hukum serupa.


Saya terhenyak. Batin saya mungkin bisa dikatakan menangis, bahkan geram. Mengapa masih ada orang-orang di abad 21 ini yang memandang hukum agama dengan kacamata yang absolut. Walaupun negara ini sudah meratifikasi HAM PBB, tetapi toh pelaku “kriminal” masih diperlakukan dengan kejam. Banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati. Hukuman yang bersifat penyiksaan pun sudah dilarang sejak lama. Bahkan pemerintahan George W. Bush sudah tercoreng karena kasus penyiksaan tahanan teroris di penjara Guantanamo, Kuba, terungkap ke dunia internasional.


Sayangnya, negara kita rupanya lebih suka mundur ke masa-masa ketika hukuman fisik dan hukuman mati (capital punishment) merupakan satu-satunya cara bagi penguasa untuk menyingkirkan orang-orang yang mereka tidak sukai. Sayangnya lagi, kali ini hukuman tersebut diberi judul “hukum agama”. Ternyata, setelah ratusan hingga ribuan tahun lewat, orang yang mengaku lebih “beriman” dibanding orang lain, tidak berbanding lurus dengan jaman yang makin progresif dan pengakuan hak-hak asasi manusia yang diterima oleh sistem demokrasi.


Saya menolak hukuman rajam dan bentuk-bentuk hukuman serupa karena orang perlu memikirkan kembali tentang nilai kemanusiaan. Bagaimana bisa hukuman rajam disebut sebagai hukuman yang manusiawi? Tuturkanlah seribu ayat pendukung jika memang Anda tidak sepakat dengan saya, namun saya tidak akan pernah menganggapnya sebagai kebenaran, karena “kebenaran itu relatif”. Saya pikir, semua orang, baik yang beragama maupun yang tidak, mau tidak mau dituntut untuk mempercayai bahwa kebenaran itu tidak absolut--kalau kita masih ingin disebut sebagai manusia beradab.


Harus diakui bahwa orang yang percaya pluralisme dan perbedaan, percaya pula bahwa kebenaran itu selalu bergantung pada konteksnya. Sebab, kebenaran absolut--kalau pun ada--hanya eksis di ranah pribadi. Keluar dari ranah pribadi, apa yang disebut “kebenaran” itu menjadi relatif adanya. Konsekuensinya, jika kebenaran absolut hanya eksis dalam keyakinan individual, kita tidak bisa memaksakan orang lain agar percaya pada keyakinan kita. Kita tidak bisa menegaskan bahwa si fulan atau fulanah pasti bersepakat dengan “kebenaran” menurut versi kita.


Inilah mengapa saya tidak setuju dengan hukum agama yang dinomorsatukan, sementara hukum negara dinomorduakan. Inilah mengapa negara demokrasi menekankan apa yang disebut dengan “separation of church and state”, pemisahan antara gereja (agama) dan negara. Karena sudah tentu, agama atau iman adalah urusan pribadi. Jangan dicampur-adukkan dengan urusan negara yang merupakan urusan bersama. Dengan pemahaman negara modern seperti ini, bagaimana mungkin, menghukum kriminal dengan hukum agama dapat dianggap sebagai sesuatu yang logis alias masuk akal? Bagaimana mungkin keyakinan pribadi dapat digunakan untuk menghukum orang lain? Ada mismatch di situ.


Refleksi dari perspektif spiritual

Itulah mengapa saya mengakui bahwa kebenaran absolut itu tidak mungkin ada. Ini juga berarti bahwa “kebenaran” itu sendiri tidak mungkin bisa kita pahami. Karena kita manusia, itu alasan utamanya. Dalam pemikiran dan sistem keyakinan yang saya dalami, ada nilai kemanusiaan yang saya tangkap, bahwa kita itu makhluk fana. Kita adalah makhluk yang serba terbatas, sehingga tidak mungkin untuk menjadi makhluk yang “maha” (In my own words, it is impossible for us aspiring like a god/goddess).


Dengan demikian, kebenaran absolut hanya milik Yang Abadi. Karena kita bukan Dia (jika Anda percaya keilahian yang tunggal) atau Mereka (jika Anda percaya keilahian yang jamak). Kita tidak akan bisa memahami kebenaran absolut karena kita dibatasi pada kondisi kefanaan kita. Karena kita makhluk fana, tidak mungkin bagi kita untuk menentukan atau menetapkan dengan pasti bahwa yang ini “salah” dan yang itu “benar”.


Kategori salah dan benar yang kemudian kita rangkum dalam “hukum agama” pada intinya hanya “tangkapan” kita sebagai manusia fana. Definisi yang kita buat tersebut hanyalah bersifat sementara atau tidak abadi, dengan demikian tidak bisa digunakan sebagai patokan mutlak untuk menilai atau menghukum sesuatu yang sifatnya sementara pula. Apalagi jika kita menegaskannya sebagai “inilah suara Tuhan!”. Saya pikir, itu kebablasannya kita sebagai manusia tak tahu diri.


Oleh karena itu, bagi saya yang terpenting adalah bagaimana kita harus menunda saja kebenaran dan menerima fakta bahwa keilahian tidak bisa didefinisikan. Ini berarti menerima secara legowo (lapang dada) bahwa maksud Ilahi juga tidak bisa direduksi menjadi sekadar perangkat aturan atau “syariat”. Jadi, kita tidak bisa bilang bahwa “Tuhan ngomong begini” atau “Tuhan menghukum pezina dan harus dirajam”. Sebab, bagaimana kita bisa membuktikannya secara empiris bahwa Tuhan berbicara pada si fulan atau fulanah bahwa si pezina harus dirajam?


Tidak akan pernah ada yang namanya bukti empiris bahwa Tuhan berbisik pada seseorang supaya orang yang berzinah dirajam. Dengan demikian, saya mungkin bisa dikatakan “kafir” karena meragukan ada orang spesial yang secara khusus dipilih menjadi utusan Tuhan. Saya sejujurnya tidak percaya akan hal-hal supernatural semacam itu. Apa yang ada ialah natural. Apa yang orang dengar dari alam semesta melalui telinga adalah semilir angin, kicau burung, canda tawa anak kecil, dan hal-hal yang natural serta empiris. Terserah orang mengatakan bahwa dia “mendengar” Tuhan berbisik padanya secara pribadi dan beberapa orang percaya padanya, namun satu-satunya yang tidak bisa lakukan adalah melakukan pemaksaan supaya orang juga meyakini apa yang dia yakini.


Inilah mengapa kefanaan kita akan selalu dan selamanya membatasi kita untuk meraih kebenaran absolut. Kondisi kefanaan kita selalu membatasi penilaian kita bahwa peraturan yang ini atau yang itu adalah “kebenaran”. Tetapi, kondisi kefanaan jangan dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau rendah. Achilles, tokoh dalam karya Homerus, Iliad, berkata, “The gods envy us” atau “dewa-dewi (atau Yang Ilahi) cemburu pada manusia”. Kalimat itu mengandung makna, kefanaan kita justru merupakan anugerah, karena kita memiliki hidup untuk digunakan secara optimal sebelum akhirnya kita menemui ajal. Segala batasan, seperti waktu, jasad, pemikiran yang kita punya sangat berharga. Bandingkan dengan Yang Abadi, tidak berbatas atau timeless. Karena itulah, kefanaan manusia merupakan nilai yang sangat berharga, karena bagi kita, “sekali berarti, sesudah itu mati”.


Kembali ke kemanusiaan

Dari situ, kita bisa melihat bahwa nilai manusia itu amat berharga. Nyawa manusia dan jasad yang dipunyainya adalah permata bagi kita sendiri sebagai makhluk berakal. Sekarang katakan, bagaimana caranya hukuman rajam dapat meninggikan nilai manusia?


Kita perlu melihat bahwa pada dasarnya manusia itu baik, dikasih akal untuk berpikir yang terbaik. Jadi, akal harus digunakan secara optimal, untuk merumuskan hukum yang baik dan menjunjung tinggi martabat manusia (memanusiakan manusia atau humanis). Bagaimana bisa dikatakan bahwa hukuman rajam, gantung, cambuk, potong tangan, sebagai produk hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia? Pada dasarnya hukum seperti itu sengaja merendahkan manusia hingga layaknya binatang yang didera, disiksa, ditimpuki karena dianggap jijik atau tidak pantas hidup di tengah-tengah masyarakat. Karena apa? karena dia dianggap lebih rendah dan lebih tidak berharga dibanding kita.


Penyiksaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang harus kita junjung tinggi sebagai manusia yang beradab. Seperti kata spiritualis Neale Donald Walsch, bahwa jika kita berpikir manusia itu pada dasarnya buruk dan jahat, maka kita akan bikin peraturan yang membuat manusia selalu punya kecenderungan jahat. Hukum rajam dan penyiksaan, hukuman mati memiliki landasan bahwa manusia harus dihukum seperti itu supaya jera. Tetapi itu berarti melihat manusia sebagai makhluk yang bodoh atau idiot sehingga jahat. Lingkaran setan akan terus berputar, masalah tidak akan selesai.


Apa manfaat atau benefit yang bisa didapat dari situ? Tidak ada. Cuma ketakutan orang supaya tidak melanggar peraturan, karena jika melanggar, hukumannya berat. Ini seperti mengatakan, saya beribadah karena takut masuk neraka. Sekarang coba kita ingat lagu milik Chrisye: “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud padanya?”. Itu adalah sentilan terhadap orang yang beribadah atau bermoral hanya karena dia takut nantinya tidak masuk surga. Bukankah iman seperti itu adalah iman yang rendah? Jadi tidak heran mengapa kecenderungannya sekarang lebih mementingkan “religious by fashion” dan berlomba-lomba menjadi yang paling alim seakan-akan dia yang paling suci sendiri.


Orang yang menetapkan dan mendukung hukuman rajam biasanya berargumen bahwa itulah yang diperintahkan di kitab suci atau dititahkan oleh utusan Tuhan. Mereka membaca kitab seperti seakan-akan itu berlaku di semua jaman. Padahal bandingkan, berapa berbedanya dunia kita sekarang dengan 2000 tahun yang lalu. Penulis keturunan Mesir dan Perancis, Amin Maalouf, mengatakan: “Tradisi memang harus dihormati, tetapi hanya sejauh tradisi itu dapat dihormati.” Artinya, tradisi yang buruk toh dapat dibuang tanpa kita harus merasa telah mengkhianati tradisi. Penyiksaan dapat kita hilangkan tanpa harus kita merasa bahwa kita tidak mematuhi hukum agama.


Karen Armstrong, pemikir agama dan penulis Sejarah Tuhan, menghimbau kepada para penganut agama di seluruh dunia melalui proyek kerja samanya dengan sejumlah pemuka agama yang tergabung dalam “Charter for Compassion” (Piagam Belas Kasih): agar semua agama di dunia kembali ke Nilai Emas (Golden Rule) yang diajarkan dalam agama. Golden Rule yang universal tersebut berbunyi: “Lakukan apa yang kamu ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika dibalik, artinya “jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu”. Jika Anda ingin orang lain baik kepada Anda, maka jangan jahati dia dong. Jika Anda tidak ingin kriminal merajalela, jangan berikan hukuman yang negatif. Itulah mengapa di beberapa negara dengan hukum progresif, yang diterapkan kini adalah “Harm Reduction”, terutama dalam kasus penyalahgunaan obat terlarang dan pelacuran.


Dalam pernyataannya, Karen menekankan pentingnya agama kembali mengajarkan bagaimana supaya kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan:


Compassion doesn’t mean feeling sorry for people. It doesn’t mean pity. It means putting yourself in the position of the other, learning about the other. Learning what’s motivating the other, learning about their grievances.” (Belas kasih bukan berarti menyesali keadaan orang lain. Bukan berarti merasa kasihan. Belas kasih berarti menempatkan diri Anda pada posisi orang lain, memahami orang lain. Memahami apa yang menjadi motivasinya, memahami keluh kesah mereka.)


Karen juga berkata kepada generasi ini, bahwa agama harus berevolusi. Jika tidak, agama itu akan ditinggalkan oleh pengikutnya, karena penganutnya melihat betapa agama itu malah terbelakang dan tidak menjawab tantangan jaman. Makanya saya tak heran bahwa banyak penganut kedua agama besar (Islam dan Kristen) yang menjadi atheis dan agnostik--seringkali dengan geram--karena mereka sadar bahwa agamanya keukeuh tidak mau fleksibel dan tidak bisa menjawab kebutuhan spiritual masing-masing individu. Itu karena kecenderungan oknum fanatik yang menafsirkan aturan agama secara tekstual, tidak melihat konteksnya.


Melihat konteks berarti membaca semangat jaman, membaca konteks sosial, semakin mengerti bahwa manusia harus menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memilih mana yang bermanfaat, mana yang tidak bagi kemanusiaan secara umum. Dengan membaca, berdiskusi, bertukar pikiran, bersikap terbuka, selalu bertanya, selalu ingin belajar, kita akan terhindar dari kebodohan dan kesempitan berpikir seperti katak dalam tempurung. Karena seperti kata filsuf Yunani, Socrates: “Hanya ada satu kebaikan, yaitu pengetahuan, dan satu kejahatan, yaitu kebodohan.”


Kebodohan adalah karena dia tidak berpengetahuan, dalam arti bahwa si orang itu menutup diri dari the best available knowledge di sekitar dia. Dia tidak mau membaca konteks jaman, tidak bisa membaca apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Itu artinya dia bersikap ignorant. Ignorance atau pengingkaran dalam hal ini tidak mau mendengar bahwa ada suara-suara lain. Suara yang lain itu niscaya selalu ada, perbedaan selalu ada, pluralisme itu sudah pasti. Dengan demikian, kebenaran dikontestasikan, di-floor-kan, dilempar ke ruang debat, dipertanyakan, ditelusuri akar-akarnya, yang nantinya akan ditemukan bahwa apa yang kita tahu itu sebenarnya terbatas, terpecah-pecah, terfragmen. Itulah juga mengapa Socrates bilang lagi, “Orang yang paling bijaksana adalah orang yang tidak tahu”. Itu berarti, apa yang kita tahu sebagai kebenaran itu sifatnya selalu sementara, bergantung tempat, waktu dan dinamis, berbeda-beda dan tidak bisa diabsolutisasi atau difinalkan.


Jadi, apa yang perlu ditekankan oleh orang yang beragama adalah, maukah bersikap kritis terhadap apa yang kita anggap sebagai “kebenaran”. Sebab, apa yang bisa kita lakukan adalah menunda kebenaran dan bersemangat dalam pencarian. Akal sehat harus digunakan untuk menciptakan peradaban yang lebih baik, yang lebih memanusiakan manusia dengan menghormati atau tidak merendahkan jasad ini dengan melakukan penyiksaan atau hukuman mati. Sebab, justru dengan tubuh, akal kita bisa terbentuk menjadi pemikiran, peradaban, di mana kita hidup bertetangga dengan orang yang berbeda, bahkan orang yang pemikirannya tidak kita setujui sama sekali.


Wahai orang “sok” suci, jangan mengangkangi alam semesta yang lebih besar daripadamu

Hukuman rajam adalah sebentuk absolutisme yang dipegang teguh karena dianggap sebagai kebenaran atau hukum yang tidak bisa diganggu gugat. Di situ ada kecacatan dalam konsep berpikir logis dan merupakan iman yang dangkal, karena menganggap dirinya mampu menguasai kehendak alam semesta, padahal dia cuma manusia fana. Dia tidak sadar bahwa kita bersifat sementara, keadilan kita hanya sementara dan bisa dibuktikan salah di hari lain.


Sebab, dari mana dia tahu bahwa orang yang ini akan masuk neraka dan dirinya tidak? Dari mana dia tahu bahwa setelah mati kita akan ke surga atau neraka? Dari mana dia tahu bahwa di neraka ada setrikaan raksasa dan bahwa neraka dan surga masing-masing ada 7 lantai? Apakah dia pernah berkunjung ke sana dan balik lagi ke dunia manusia untuk bercerita? Apa kau benar-benar yakin? Dari mana dia yakin bahwa kita kalo mati akan ada kehidupan setelah mati dan bukan reinkarnasi? Dari mana dia yakin bahwa kalo kita mati akan ada reinkarnasi dan bukan kehidupan setelah mati? Kenapa bukan tidak ada apa-apa setelah kita mati? Kenapa Anda yakin juga dengan itu? Memangnya Anda sudah pernah mati?


Semua itu hanya konseptual, sesuatu yang belum pasti karena tidak ada bukti memadai. Dengan demikian, hanya eksis di dunia ide. Lalu kenapa kita masih direpotkan dengan urusan setelah kematian? Biarkanlah itu tetap jadi sesuatu yang di luar kuasa kita. Bukankah menjadi orang beriman adalah mengakui bahwa kita tidak berkuasa dan satu-satunya yang berkuasa adalah Sang Pencipta? Bahwa kita bagaikan butir pasir di tengah jagat raya yang tak terhingga? Jadi, bagaimana bisa seseorang menyatakan bahwa dirinya jauh lebih benar dan suci daripada orang lain, padahal dia sendiri juga tidak punya kuasa apa-apa?


“Berpikirlah layaknya makhluk fana”, begitu kata salah satu Delphic Maxims atau Pepatah Delphi yang saya dalami. Apa yang harus kita lakukan sebagai manusia sebenarnya tidak rumit: Kita hanya perlu berlaku dan berpikir sebagai manusia. Jangan menganggap bahwa kita dapat menjadi atau menyamai seperti Yang Abadi, padahal tidak mungkin mendefinisikan maksud Yang Abadi dan mereduksinya ke dalam sebuah kotak bernama “kebenaran” dan “keadilan”. Kita harus berpikir sesuai tabiat kita, bahwa ketika kita tidak tahu, ya kita tidak tahu, jangan belagak kita yang paling tahu atau paling suci sendiri.


Saya cuma berharap, umat beragama dapat membedakan beragama karena rasa takut dan beragama karena rasa takjub. Beragama karena takut masuk neraka adalah beragamanya orang bodoh, sebab dia menjadikan agama sebagai topeng untuk menutupi ketidaktahuannya dan belagak jadi orang tahu (bukan mengakui secara jujur bahwa dia tidak tahu). Dia juga menganggap bahwa dirinya lebih worthed daripada orang lain yang tidak beragama seperti dia.


Beragama karena rasa takjub adalah beragama dengan ugahari, sederhana, sambil mengakui bahwa ada alam semesta yang lebih besar daripada dia, bahwa dia mengakui kemanusiaannya dan tetap berpijak di bumi. Hukuman rajam itu berasal dari beragama karena rasa takut. Takut si pezina mengkontaminasi masyarakat, maka bunuhlah dia. Takut si pezina mengajak kita ramai-ramai ke neraka, mending bunuhlah dia saja sebagai tumbal atau kambing hitam. Padahal, siapa sih yang tak pernah berdosa? Bagaimana kita bisa tahu pikiran Tuhan bahwa orang itu lebih berdosa daripada kita? Atau bahwa Ibu A lebih berdosa daripada Ibu B? Anehnya, masih banyak orang yang ingin berlomba-lomba melempar batu pertama atau memaki dan meludahi paling keras si terdakwa yang menghadapi tiang gantungan.


Dengan demikian, saya berkesimpulan, sifat megalomania dalam diri pendukung dan penetap hukuman rajam adalah sifat yang senang mengangkangi alam semesta. Dia tidak tahu bahwa alam semesta punya caranya sendiri untuk menghukum yang bersalah dan itu bukan hak kita sebagai makhluk kecil, sebutir pasir di tengah jagat raya.

Dia tidak tahu bahwa ada karma, atau sebab akibat, atau nemesis (retribusi) atau Golden Rule. Bahwa kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Keangkuhan (hubris) bahwa dia merasa tahu kebenaran akan menghasilkan angkara murka. Akal dan penyelidikan yang tidak dioptimalkan akan menghasilkan kebutaan dan fanatisme. Hukuman yang merendahkan kemanusiaan akan membuat kita selalu melihat bahwa manusia dan nyawanya tidak ada nilainya seperti daun kering yang mati.


Malulah mereka yang merasa jadi wakil “kebenaran” Yang Abadi dan menghukum orang lain menurut apa yang dia ketahui (padahal dia tidak tahu apa-apa). Padahal nantinya mereka sendiri juga tidak bernilai apa-apa ketika digerogoti oleh cacing tanah. Siapakah kalian, wahai hakim, penguasa, ulama, algojo, masyarakat yang haus darah? Apakah kalian sendiri bersih dari noda dosa? Semut di seberang lautan terlihat, sementara gajah di pelupuk mata tak nampak--sepertinya itu yang terjadi pada kalian, wahai orang yang mengaku suci!



Jakarta, Jumat 18 September 2009

04.30

Grace Dwitiya Amianti



Foto: Mahmoud Asgari & Ayaz Marhoni, dua remaja yang dihukum mati dengan cara digantung, di kota Mashhad, Iran (19/7/05). Mereka dikenai tuduhan pemerkosaan anak di bawah umur, homoseksualitas, dan pencurian.
Sumber: http://www.ncr-iran.org/content/view/222/69/