I really-really hate to read this definition:
(Pasal 1)
“Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.”
THE REALLY DUMB PHRASE: “Pornografi adalah materi seksualitas…”
How could anyone think of such unreasoned and illogical statement? Pornografi bukanlah ‘serta-merta’ materi seksualitas! Dan tidak semua ‘materi seksualitas’ adalah pornografi! (Ini jelas-jelas sudah meruntuhkan berbagai penjelasan pengecualian di halaman-halaman belakang, bahwa ada materi seksualitas yang dikecualikan dan tidak dianggap pornografi). Tapi karena di halaman pertama ada kecerobohan yang dipertahankan seperti itu, maka asumsinya masih sama, yaitu ‘semua materi seksualitas adalah pornografi’. Jelas ini tidak dapat dipertanggung-jawabkan, karena ini mengisyaratkan kecenderungan konsep tertentu, yang semata-mata melihat seksualitas itu sendiri sebagai sesuatu yang terlarang. Di halaman pertama pun, RUU ini sudah berbau non-humanis dan mengingkari salah satu fitrah manusia yang diberikan Tuhan, yaitu seks.
Definisi pornografi dalam RUU Pornografi ini masih kabur dan tingkat ambivalensinya masih tinggi. Pertama, dia tidak membedakan pornografi dengan erotika. Kedua, terdapat kesalahan linguistik: ‘suara’ dan ‘bunyi’ tidaklah termasuk ‘grafi’ atau ‘gambaran’. Ketiga, terlalu mempermasalahkan frase ‘membangkitkan hasrat seksual’. Memangnya kenapa kalau membangkitkan hasrat seksual? Tidak ada yang salah ketika hasrat seksual seseorang terbangkitkan (karena itu SANGAT manusiawi, coz kita itu makhluk seksual!! If you don’t believe this, then you’re actually not a human. If you’re not a human but you don’t want to be called an animal or a plant, then I don’t know WHAT you are). Yang salah adalah ketika dia memaksakan hasratnya itu kepada orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan. Kesalahan seseorang tidak terletak pada hasrat seksual an sich, tapi pada tindak lakunya yang memaksa, melecehkan, dan memerkosa seseorang karena dorongan seksnya. (Anyway, karena definisi dasarnya sudah tidak masuk akal, jelas kesana-sananya kita melihat kerangkanya tidak jauh dari moralitas yang naif, walaupun katanya sih sudah sangat sempurna).
Definisi ini masih penuh dengan aroma somatofobia, alias benci tubuh manusia. Seharusnya definisi pornografi yang tepat adalah bukan lantas mengharamkan tubuh atau seks itu sendiri (dengan menajiskan hasrat seksual yang bangkit), tapi definisi pornografi yang tepat adalah penyalahgunaan seks yang dehumanis, merendahkan kemanusiaan seseorang, sehingga ada unsur pemaksaan dan perbudakan di sana, dan bukan karena keinginan dan kerelaan sendiri. Definisi RUU Pornografi masih melihat seks sebagai sesuatu yang secara inheren ‘buruk’ di dalam dan pada dirinya sendiri, dan bukan sesuatu yang netral. Padahal seks bersifat netral (ingat analogi pisau, berguna di tangan seorang juru masak, berbahaya di tangan seorang penjahat), tapi kemudian dalam kehidupan sosial berubah menjadi politis dan penuh nilai-nilai yang bertubrukkan ketika banyak tarik-menarik kepentingan individu dan kelompok. Jelas definisi pornografi menurut RUU ini tidak mengikuti pakem humanisme (apalagi feminisme). Definisi yang naif ini menyiratkan bahwa sebisa mungkin manusia harus mengingkari kemanusiaannya sendiri, yaitu seks, karena seks itu najis secara inheren. Orang Indonesia awam dipaksa sebisa mungkin hidup asketis alias menjauhi hal-hal yang bersifat ‘keduniaan’, padahal ini jelas-jelas tidak mungkin dilakukan, kecuali kalau anda tinggal di biara dan bersumpah menjadi aseksual seumur hidup. Seks adalah bagian dari kehidupan juga, dan tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah ketika seks disalahgunakan sehingga menjadi sebentuk kriminalitas, dalam hal ini adalah pornografi (walaupun menurut saya pornografi itu sendiri dari dulu selalu kontroversial, ambigu, suatu masalah yang bermuka jamak, tak pernah selesai dikonsepkan, dan tidak ada ketok palu untuk menilainya. Jadi saya sebenarnya secara konseptual lebih memilih istilah ‘kriminalitas seksual’ ketimbang ‘pornografi’, tapi karena konteksnya sangat perlu untuk memakai kata ‘pornografi’, ya sudah saya ambil jalan pintas.) Tapi RUU Pornografi memang buta terhadap humanisme yang menganggap seks sebagai sesuatu yang wajar. RUU Pornografi mencampur-adukkan seks dan seksualitas yang humanis dengan pornografi yang dehumanis. RUU ini mengaburkan batas antara erotika dan sensualitas sebagai salah satu kekuatan hidup, dengan persetubuhan banal yang penuh pemaksaan dan tidak berperasaan, terutama terhadap perempuan. RUU ini somatofobik, bahkan munafik, karena ignorant(mengingkari) terhadap sesuatu yang dialaminya sehari-hari, dan hanya mengejar penampakan lahiriah ketimbang batiniah. Mengejar kesalehan di luar, padahal di dalam batinnya dan tubuhnya sesuatu yang sifatnya alamiah sedang dipapas dan dibodohi. Bukannya ini tidak berperikemanusiaan?
Jelas moralitas yang dipakai dalam RUU ini berasal dari konsep-konsep agama tertentu, karena sebenarnya banyak agama lain yang tidak melihat seks sebagai sesuatu yang najis atau harus dihindari. Memang, semua agama punya kebajikan universal bahwa tidak baik untuk seseorang mencemplungkan diri ke dalam sesuatu yang ‘kotor’, tapi apa yang ‘kotor’ ini definisinya sangat berbeda-beda tiap agama, dan tidak semua agama punya ukuran yang sama dalam melihat ‘kekotoran’ ini. Apa yang dianggap ‘kotor’ dalam suatu agama, bisa dianggap ‘biasa’ dalam agama lain. Ini saya pikir jadi salah satu alasan penolakan mayoritas warga Bali (yang mayoritas Hindu) terhadap RUU ini, karena mereka melihat, walau sudah direvisi, RUU ini masih mengandung satu jenis suara saja alias monolitik. Kasarnya, kalau tari sensual dalam agama Islam dianggap haram, di dalam agama Hindu justru dirayakan. Makanya, pendapat yang ingin disuarakan oleh masyarakat Hindu Bali bukanlah soal budaya, pakaian, atau kemben semata, tapi sebenarnya secara kompleks menyangkut konsep-konsep agama mereka sendiri. Mereka tidak bisa dengan serta-merta menerima konsepsi umum bahwa tarian yang mengandung unsur erotis adalah ‘haram’, karena mereka tidak kenal dengan konsep seperti itu. Apa yang dianggap orang lain ‘buruk’, menurut orang Bali justru ‘indah’. Seorang teman saya yang beragama Hindu Bali pernah menjelaskan perbedaan konsep ini, dan bahwa bagi mereka ‘tarian’ adalah bentuk kesenian yang menjadi pemberian Sang Pencipta, maka itu manusia memuja-Nya dengan tarian, dan gerak tariannya pun penuh sensualitas dan penuh tenaga, bentuknya pun bermacam-macam, dan tak ada ritual-ritual Hindu Bali yang tanpa tarian. Makanya saya bingung, kenapa para pembuat RUU ini dan yang pro masih tidak bisa melihat konteks penolakan kelompok tertentu secara subtil dan mendalam. Jelas karena yang mayoritas sebenarnya tidak pernah mau mempelajari apa sih sebenarnya yang diyakini orang lain/yang minoritas, supaya jangan ada yang tersinggung atau merasa disepelekan. Yang mayoritas menganggap moralitasnya adalah moralitas yang paling benar, jadi yang lain sebagai minoritas mending ngikut saja sama yang jumlahnya banyak.
Kemudian yang masih berhubungan dengan definisi yang bermasalah adalah soal ‘tujuan pengaturan pornografi’ yang campur-aduk:
(Pasal 3)
“Pengaturan pornografi bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
d. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.”
As I would suggest, buanglah poin ‘b’, karena masalah ‘pornografi’ basisnya bukanlah masalah seberapa baik ‘moral dan akhlak’ seseorang, tapi soal kriminalitas. Orang yang berkepribadian luhur atau bermoral dan berakhlak baik hari ini tidak menjamin bahwa dia tidak akan melakukan kriminalitas di hari lain. Dan orang yang tidak pernah melakukan tindakan kriminal bukan semata-mata karena dia ‘bermoral dan berakhlak baik’, tapi karena memang dia sudah ‘terbiasa’ mengetahui mana yang ‘baik’ dan mana yang ‘buruk’, tanpa harus diberikan ‘pembinaan dan pendidikan moral dan akhlak’ lewat suatu produk hukum atau Undang-Undang. Produk hukum tidak bertujuan untuk memberikan pendidikan moral, tapi untuk ‘menghukum’, menilai tindakan seseorang apakah dia bersalah atau tidak. Pembinaan moral adalah tugas dunia pendidikan, keluarga, dan agama, dan sama sekali tidak menjadi tugas dari sebuah perundangan dan aparatur negara. Kriminalitas tidaklah berhubungan secara langsung dengan ketiadaan moralitas atau akhlak. Kalaupun saling berhubungan, kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Banyak orang yang mencuri/merampok bukan karena moralnya bejat, tapi semata-mata karena perutnya lapar dan dia punya anak yang juga harus dikasih makan. Dan banyak orang memerkosa bukan karena dia ingin lebih banyak seks, tapi karena dia ingin lebih banyak kekuasaan, dan mencari siapapun yang bisa dia taklukkan (ini lebih karena soal psikologis dan bukan akhlak).
Maka setiap orang berpotensi melakukan tindak kriminal, walaupun dia berakhlak sempurna seperti makhluk surga dan amat sangat saleh bahkan debu pun tak mau menempel di pakaiannya. Jangan hanya karena semata-mata anda adalah orang saleh, maka anda bebas menyebut diri anda sebagai orang yang tidak pernah melakukan kesalahan atau dosa. Janganlah menggunakan tameng ‘moral dan akhlak’ untuk menutupi realita bahwa manusia pada dasarnya adalah selfish individual, yang punya kehendak bebas untuk memilih apapun. Apa yang disebut ‘moral dan akhlak’ tidaklah inheren atau menempel sampai orang itu mati, tapi manusia adalah makhluk yang dinamis dan mempunyai banyak hal untuk dipikirkan dan diperbuat (karena manusia dianugerahi nalar, dan tidak seperti binatang yang hanya bertindak secara naluriah belaka). Ini adalah basis berpikir humanisme, bahwa manusia tidak dapat dilihat secara inheren lewat moralitas yang sifatnya abstrak, tapi harus dilihat dari tindak lakunya, apa yang real sebagai bukti perbuatannya, apa yang dia lakukan sebagai manusia. Tidak ada urusan dengan nilai-nilai pribadinya atau bagaimana imannya, karena yang penting adalah apakah dia berperilaku dengan etika atau tidak di kehidupan sosialnya. Apakah dia rasional atau tidak. Dan bukan apakah dia berakhlak/bermoral atau tidak. Orang yang akhlaknya setinggi apapun dan keimanannya sekuat apapun, tapi kalau dia berlaku tidak etis terhadap orang lain (misalnya memaksakan pendapat pribadi dengan cara-cara kekerasan) maka dia adalah bajingan, by any means. Maka, moralitas/akhlak harus dibedakan dari etika. Moralitas bersifat abstrak dan hanya dapat dipikirkan, sifatnya konseptual, dan ketika suatu konsep moral dipraktekkan, ia menjadi etika, yang sifatnya praktikal. Tapi ukuran moralitas tiap orang berbeda-beda, bahkan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Jadi ukurannya bukan moral dan akhlak, tapi etika, soal bagaimana kita hidup bersama orang lain yang berbeda dengan kita. Dan etika lagi-lagi bukanlah sesuatu yang diajarkan atau ditetapkan oleh sebuah undang-undang, etika adalah pembelajaran untuk hidup di antara banyak orang, yang tidak bisa diterapkan sehari-dua hari, tapi seturut dengan orang itu bertumbuh menjadi dewasa dan makin tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Karena itu, kalau memang poin ‘a’ sudah cukup berbicara banyak soal etika, tidak perlu memasukkan poin ‘b’, karena itu berarti negara melakukan intervensi terhadap pilihan-pilihan moral pribadi seseorang walaupun orang tersebut beretika dengan baik. Tidak usah repot-repot masuk ke dalam pilihan pribadi seseorang kalau toh orang tersebut bisa menghormati orang lain dan menerapkan kehidupan sosial yang harmonis.
Poin ‘b’ juga menyiratkan bahwa para pembuat RUU dan yang pro sebenarnya tidak percaya bahwa keluarga dan lingkungan sekitar tempat seseorang tumbuh bisa (dan selalu) melakukan pembinaan moral seorang anak sedari kecil, dan anak tersebut tidak akan tumbuh menjadi seorang anak yang bermasalah kalau keluarga itu sendiri tidak bermasalah. Orang-orang yang pro RUU Pornografi seringkali menekankan moralitas keluarga (family values), tapi lewat poin ‘b’, terbukti bahwa mereka sebenarnya tidak benar-benar percaya terhadap apa yang mereka koar-koarkan. Mereka sebenarnya apatis bahwa keluarga bisa melakukan pembinaan ‘moral’ terhadap anak, jadinya mereka menyerahkan pembinaan moral tersebut pada negara dan mencampakkan pengajaran etika di tingkat keluarga inti. Jelas ini konsep yang berbau fasisme dan romantisisme, ketika tugas keluarga dicaplok menjadi tugas negara yaitu ‘pengajar moral bangsa’ (Nazi memakai pola seperti ini, bahwa semua anak Jerman harus jadi manusia ras arya yang superior dalam segala hal, dan bahwa bangsa Jerman punya karakteristik terluhur yang pernah ada di muka bumi. Memang bagus, tapi efeknya angkara murka, 5 juta orang Yahudi—yang bukan ras arya—dibunuh karena konsep itu), dan menisbikan keragaman pola-pola moral yang berbeda di tingkat terkecil di setiap keluarga.
RUU ini melecehkan semangat keluarga inti dan lingkungan kecil tempat hidup sehari-hari dalam memberikan pelajaran moral untuk anak, dan mengangkatnya menjadi urusan negara (padahal banyak bangsa maju yang sudah trauma dengan konsep ‘negara sebagai pengajar moral bangsa’, gara-gara tragedi Nazi). Peran orang tua, tetangga, tempat ibadah, yang adalah kluster-kluster terkecil dan terdekat dalam pembentukan moral sehari-hari seorang anak Indonesia, yang sudah berjalan sejak dulu kala dan tenang-tenang saja, kemudian digoyang dengan adanya RUU ini. Saya jadi curiga, jangan-jangan para orang tua yang meratap agar RUU ini segera disahkan sebenarnya ingin lepas tanggung-jawab mendidik anak-anaknya dan menyerahkan pengurusan moral anak kepada negara? Jadi apa tugas orang tua? Ongkang-ongkang kaki nunggu anak dewasa trus menikah trus nunggu cucu-cucu brojol? Para orang tua yang meratap agar RUU ini segera disahkan sebenarnya adalah ciri khas orang tua modern perkotaan (namun taat beragama) yang tidak percaya diri dan khawatir anaknya suatu hari punya kecenderungan untuk menjadi bobrok. Ketimbang yakin dalam mendidik anak bahwa anaknya itu dibekali dengan akal budi yang baik, mereka justru adalah orang-orang tua yang pesimistis dan skeptis bahwa secara inheren anak adalah makhluk yang tidak pernah dewasa dan akan terus menjadi ‘anak-anak’, yaitu makhluk yang terus-menerus tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Orang tua sebenarnya tampak tidak lagi ‘berniat’ menjadi orang tua. Mereka tidak benar-benar berniat mengajarkan hal-hal baik pada anak-anaknya, entah karena krisis pede gara-gara anak sekarang berani berargumen, atau karena ‘menikah’ dan ‘membentuk keluarga’ saat ini sudah menjadi banal sifatnya, hanya karena formalitas saja, supaya ortu senang, atau supaya bu haji di sebelah rumah senang, dan bukan karena benar-benar ‘berniat’ membentuk keluarga. Mereka tidak sadar bahwa keluarga adalah entitas ‘bangsa’ yang paling terkecil tempat seorang individu dibentuk hingga dia sadar akan hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara. Mereka tidak sadar bahwa bukan hanya orang tua yang membutuhkan anak supaya cepat dewasa dan suatu saat mengurus orang tua kalau sudah sekarat, tapi anak pun membutuhkan orang tua sebagai teladan, sebagai sosok yang bisa mengerti isi-isi hati anaknya, pemikiran-pemikirannya, dan mau membimbingnya, sesibuk apapun orang tua di kantor atau kegiatan lainnya.
Para pembuat RUU dan yang pro terhadapnya, yang tampaknya adalah orang-orang tua perkotaan kelas menengah, jangan-jangan karena sudah kewalahan menghadapi perubahan sikap anak-anaknya, karena jaman yang sudah berubah, dan anak-anak yang lebih cepat tua dan kehilangan masa kanak-kanaknya, ingin menyerahkan tugas pengasuhan yang sebenarnya luhur ini kepada negara. Padahal negara sudah terlalu banyak urusan, banyak orang miskin di daerah perkotaan dan di desa-desa terpencil yang kelaparan, dan sebenarnya tidak peduli bagaimana ‘akhlak’, tapi yang mereka pikirkan terutama adalah bagaimana mencari makan. Negara tidak perlu mengurusi hal-hal privat yang menjadi tanggung jawab sebuah rumah tangga, apalagi sampai memaksakan diri untuk mendidik anak. Itu hanya akan membuat orang-orang tua Indonesia semakin malas berpikir, malas menjadi teladan, dan kerjanya cuma nunggu anaknya suatu saat ngebayarin piknik ke Bali di masa tua.
Kalau sudah seperti itu, RUU Pornografi adalah pelecehan terhadap keyakinan orang-orang tua itu sendiri, bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan ketika mereka telah dewasa, sudah saatnya mereka diberikan kebebasan untuk menentukan diri sendiri, dan budi yang baik dapat tercermin dari sikapnya. Kalau anak itu bobrok ya ada yang salah dengan pengajaran orang tuanya, dan bukan karena tidak ada RUU Pornografi! RUU ini pun menisbikan realita bahwa moralitas tiap keluarga berbeda-beda satu sama lainnya. Karena RUU ini sejak awal maksudnya sudah mengharamkan seks, maka RUU ini buta terhadap kenyataan bahwa banyak keluarga saat ini yang merasa amat perlu mengajarkan anak-anaknya tentang pendidikan seks (sex education). Sebenarnya banyak keluarga cukup cerdas untuk lebih baik memberikan pengertian yang benar tentang seks itu sendiri, ketimbang melarang apapun yang berhubungan dengan seks untuk dipelajari oleh anak. RUU ini membodohi masyarakat, dengan serta-merta menghilangkan pentingnya pendidikan seks sedari dini untuk anak, bahwa seks itu bukanlah untuk ditakuti. Justru ketika anak sama sekali tidak mengerti tentang seks, dan orang tuanya tidak mengajari apapun tentang itu, tidak menjadi teladan apapun, maka si anak mencarinya di luar domain keluarga. No wonder banyak anak sudah kenal film atau majalah porno sedari kecil. Ini justru bukan karena mereka punya ‘moralitas’ keluarga yang longgar dan liberal, tapi justru karena sikap yang puritan dan konservatif, mengharamkan seks sebagai salah satu pendidikan penting dalam keluarga, dan hanya boleh disentuh si anak ketika dia sudah cukup umur untuk menikah. Hasilnya, ketika menikah, dia menjadi produk lama dari kebiasaan orang tuanya, dan meneruskannya kepada anaknya, bahwa seks adalah sesuatu yang harus dijauhi, hanya boleh disentuh saat sudah menikah. Terus-menerus berulang seperti lingkaran setan. Ini adalah suatu ketidakadilan untuk anak-anak. Justru dengan niat kita melindungi anak-anak, kita harus mau memberikan pendidikan tentang seks, dan bukan semata-mata cuma melarang ini melarang itu, dan berkoar-koar supaya pornografi diberantas. Masalahnya bukan di luar rumah, pak, bu, tapi di dalam rumah anda sendiri. Bagaimana cara anda dalam mendidik anak, jangan serta-merta semuanya diserahkan pada negara, padahal tidak semua anak dan keluarga mengalami masalah yang sama dengan anak dan keluarga anda.
Ini seperti mengulang pepatah lama, bagaimana mungkin semut di seberang lautan amat jelas, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak? Bagaimana mungkin anda berapi-api menjadikan negara ini punya bangsa yang bermoral luhur, sementara di rumah pun anak anda melihat sosok anda sebagai orang tua yang kehilangan kharismanya? Anda tak melihat bahwa anak-anak anda sebenarnya kecewa dengan anda, yang bersikap seperti orang asing. And I’m not talking about sekedar akhlak atau ajaran agama, atau keimanan anak, tapi orang tua yang baik tahu bahwa etika sangat penting dalam kehidupan anak. Anak yang beretika bukan sekadar anak yang berakhlak, tapi juga anak yang seturut dengan pertumbuhannya, mengerti mana yang baik, mana yang buruk, dan pilihan-pilihannya itu adalah hasil dari rasionalitasnya yang berkembang dengan baik, dan bukan hanya sekadar disuapi orang tuanya mengenai baik-buruk. Kalau anda mengajarkan etika yang benar pada anak anda, anda tidak akan ketakutan sepanjang waktu apakah anak anda menjadi bobrok atau menjadi luhur. Anda tidak perlu takut akan masa depan anak anda yang suram karena pornografi merebak di mana-mana, karena anda yakin dan tahu bahwa anak anda adalah anak yang berakal budi dan bisa membedakan baik-buruk. Ini memang proses yang makan waktu lama banget ketimbang sekadar mengesahkan UU yang belum tentu menjamin anak anda berhenti mengkonsumsi pornografi. Tapi bukannya lebih mengagetkan bahwa anda punya anak yang saleh, rajin sembahyang, patuh pada orang tua, dan tampak alim tapi diam-diam dia menyimpan VCD porno dan komik hentai? Karena itu, buat apa bersusah payah mengejar kesalehan lahiriah tapi anda tidak membiarkan apa yang alamiah dalam tubuh anak anda berjalan sebagaimana adanya? Dan inilah kenapa saya berani mengatakan, persoalannya tidak terletak pada hasrat seks itu sendiri. Benar-benar naif, ignorant, tumpul, bodoh memang definisi RUU Pornografi itu.
29 September 2008