Wednesday, April 1, 2009

Bjork yang Tidak Pernah Mati


Pengalaman saya nonton konser Björk pada tanggal 12 Februari 2008 lalu di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, sungguh spektakuler. Perempuan satu ini memang gak ada matinya. Gak sia-sia saya “berjuang” dengan teman saya berjalan ke lokasi konser yang lumayan bikin stres. Gimana gak stres, baru saja turun dari busway, di depan lapangan baseball Senayan, tiba-tiba hujan yang bener-bener deres jatuh dari langit. Kami berjalan menembus hujan yang makin lama makin gila, dan payung saya sampai rusak. Akhirnya kami terpaksa berteduh di halaman mess atlet baseball selama kira-kira sejam lebih. Lalu kami memutuskan untuk berangkat lagi, dan jarum jam pun menunjukkan pukul 4 sore. Jalan ke lokasi mulai macet, pertanda penonton mulai berdatangan.


Ketika sampai di area gedung Tennis Indoor, kami cari kopi dulu biar tubuh bisa hangat, sekalian mengeringkan pakaian yang lepek. Makin senja, penonton makin membanjir. Kali ini pemandangan juga makin lama makin membuat kami terpana. Rupanya kali ini konser di Senayan punya bau istimewa dan unik. Penonton Björk ternyata memang aneh-aneh, terutama gaya pakaian mereka. Ini memang berbanding lurus dengan sang artis yang juga unik. Kami tertawa-tawa kecil, menyadari bahwa kami rupanya penonton yang sangat simple sekaligus invisible, karena hanya jeans dan t-shirt yang melekat pada tubuh kami. Sementara di sekeliling kami dibanjiri oleh orang-orang yang benar-benar berani bergaya habis-habisan. Bukan sekadar gaya harajuku, gaya “tabrak warna”, atau gaya punk biasa, tapi benar-benar sebuah bukti penghancuran fashion system. Apakah mereka benar-benar meresapi “amanat” Björk untuk mengobrak-abrik “yang biasa-biasa saja”, atau memang ini sebuah ajang untuk menunjukkan “gue-lah yang paling unik di antara kalian semua”, saya tidak tahu juga.


Seperti yang sudah-sudah, konser ini ngaret dan baru mulai sekitar jam 20.50, telat 50 menit dari yang dijadwalkan. Satu hal yang sangat saya sayangkan adalah dilarangnya penonton untuk memotret atau merekam video lewat kamera apapun. Bisa dikatakan, ini satu-satunya konser yang melarang penontonnya untuk memotret. Tadinya saya kira gak boleh motret pakai blitz, ternyata motret itu sendiri pun dilarang. Ini memang permintaan dari manajemen Björk, karena Björk dari dulu memang tidak begitu suka cahaya blitz yang akan men-distract konsentrasinya. Dia memang memakai konsep teater, yang pada umumnya dilarang menggunakan blitz karena akan mengganggu konsentrasi para aktor. Tapi ini aneh, yang awalnya soal blitz, kenapa sekarang jadi kamera? Saya tidak tahu yang sebenarnya, apakah keekstriman peraturan ini memang keinginan Björk atau manajemennya saja, atau bahkan Java Musikindo selaku promotor yang melebih-lebihkan. Saya merasa cukup dirugikan sebagai penonton. Oke-lah bagi para penonton di area festival yang tepat berada di depan Björk, tetapi saya sendiri berada di tribun, yang jaraknya lumayan jauh dari panggung. Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak mungkin cahaya blitz dari tribun sejauh itu bisa mengganggu konsentrasi si performer. Tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Toch saya juga sempat kena tegur panitia ketika saya nyolong-nyolong untuk ambil gambar.


Saya pun mengalah dan berusaha merekam semua kejadian di otak saja, lagipula saat itu saya ingin menikmati musik Björk, bukan jadi wartawan. Perlahan-lahan konsentrasi saya ke si performer yang sudah saya tunggu-tunggu itu mulai merasuk. Björk membuka konser dengan hitnya, Earth Intruders. Cukup beralasan, karena lagu ini terinspirasi dari apa yang sudah dia lihat dan cerna ketika mengunjungi Aceh pasca-tsunami, sebagai duta Unicef, maka lagu yang satu itu memang pilihan yang tepat untuk membuka konsernya pertama kali di Indonesia. It’s a great welcome song untuk kita para fans-nya yang memang sudah bertahun-tahun menunggu kedatangannya, sebagai artis yang kans-nya kecil untuk datang ke sini karena dia tidak komersial.


Sebagai fans-nya sejak akhir masa SMU, saya sadar bahwa performa Björk di konser itu membuat saya seakan-akan menjadi orang yang baru mengenal dia untuk pertama kalinya dan belum pernah melihatnya. Ibu dua anak ini memang penuh kejutan di setiap gerak yang dia buat di panggung. Saya saja yang ngefans terkejut, apalagi orang yang biasa-biasa saja sama dia? Tidak seperti performer perempuan kebanyakan, Björk ini memang different. Sosoknya punya pesona ‘kecantikan’ yang tidak biasa dan aneh. Dia pendek (163 cm), mungil, berambut hitam, dan bertubuh padat, jauh dari pencitraan perempuan komersial Hollywood yang selama ini ‘diharuskan’ tinggi, pirang, anorexia, dan korban male gaze. Tidak seperti penyanyi female umumnya, yang maksa jingkrak-jingkrak pakai high heels, Björk dengan cuek ‘nyeker’ alias tanpa alas kaki, loncat-loncat kesana-kemari, dari ujung kanan ke ujung kiri panggung, berputar-putar, bagai anak kecil hiperaktif yang tidak pernah kehabisan tenaga. Memang tidak ada matinya dia itu. Ketika dia muncul dari belakang panggung dengan Earth Intruders yang beat-nya dinamis, dia berlari dan menari dengan segenap kekuatannya, membuat seluruh penonton berteriak histeris dan bertepuk tangan sekencang mungkin, menari dan menyanyi bersama dia.


Sang aktor panggung dari Eslandia itu sudah menguasai emosi penonton sejak lagu pertama. Berturut-turut, terasa emosi saya pun terbawa dalam plot-nya yang benar-benar seperti lanskap tanah Eslandia, dinamis, kadang datar, kadang menukik tajam, dan tiba-tiba menanjak dengan rumit. Seperti pixie, atau peri kecil yang susah ditangkap dengan tangan, dia bergerak semau dia. Dia adalah bukti hidup dari sikap yang tidak peduli orang mau ngomong apa. Mau loncat-loncat kek, mau teriak kek, tertawa kek, menari-nari gak jelas kek, dia lakukan semua itu di panggung, dan sukses membius penontonnya. Beberapa orang di sebelah saya yang memang tampaknya baru pertama kali melihat dia, juga terbius, mereka tampak bingung, tapi juga tidak mampu melepas pandangan mereka kepada si peri kecil nakal tak mau diatur yang sedang gila-gilaan di panggung.


Karnaval untuk Dewi Pagan

Björk memang penuh kejutan. Di sela-sela nyanyiannya, tiba-tiba saja kedua tangannya melempar gulungan kertas kecil panjang warna-warni ke arah penonton, tampak seperti confetti yang keluar begitu saja dari palm of her hands, membuat seluruh penonton bersorak-sorai dalam euforia. Ini karnaval Dionysian, kata saya dalam hati. Bagaimana tidak, semua hal sudah menunjukkan bau Paganisme di konser ini, yang memang digaung-gaungkan olehnya di album terbarunya, Volta. Ini terlihat dari hiasan panggungnya, yaitu bendera atau panji warna-warni bergambar ikan-ikanan dari dunia mitos. Makhluk-makhluk purba itu mengingatkan saya akan penjelasan Björk di salah satu interview-nya, bahwa kita semua pada dasarnya binatang, animal. Bendera-bendera tersebut dalam ukuran kecil pun terpasang di semua punggung para pemain brass section-nya, yang berbaju aneh, colorful. Dia sendiri pun memakai baju yang tidak mudah diterima mata. Dari jauh terlihat seperti tumpukan plastik-plastik berwarna pink, tapi kalau dilihat dengan jelas, sebenarnya itu gaun terusan selutut.


Permainan warna tidak berhenti sampai di situ, Björk dan para pemain brass section dari Eslandia yang semuanya perempuan, juga membubuhkan warna-warni di dahi mereka, yang glow in the dark ketika lighting digelapkan. Ternyata itu juga berlaku ke panji-panji di background. Dengan musiknya yang juga berwarna-warni, dari dance dan electronica, sampai ala kabaret dengan organ, Björk membuat konsernya seakan-akan adalah karnaval, perayaan, parade, dan dia adalah ratunya. Dengan seenak hati, dia membuat emosi saya ditarik-tarik, dicampur-aduk, dan dibeberkan. Dengan gamblang, dia melompat-lompat dari ballad, dance, kabaret, trance, dibantu dengan confetti, permainan lighting yang tiada duanya, serta tarian lampu laser berwarna hijau. Tidak heran saya mendengar selentingan bahwa Björk adalah artis yang paling merepotkan promotor Java Musikindo dari segi tata panggung, karena sama sekali berbeda dari kebutuhan artis atau band biasa, dan harus perfect.


Dengan bantuan itu semua, Björk tampak menggambarkan dirinya menjadi semacam Pagan Goddess, yang membius alam di sekitar sang Dewi untuk memujanya. Paganisme yang sudah kuno itu menjadi muda kembali di tangan Björk, yang mengubah konsernya menjadi semacam karnaval musim semi. Karnaval ini, yang dikenal erat kaitannya dengan dewa Dionysius dari legenda Yunani, yang merayakan kebersamaan dan keberagaman tanpa ada jarak antara si performer dengan penonton. Masyarakat kuno merayakan karnaval musim semi, musim panen hasil tani, dan memberikannya untuk sang Dewi yang menganugerahkan kesuburan di bumi. Paganisme memang agama yang matriarkis, yang pada akhirnya kalah bertekuk lutut di bawah agama Ibrahim yang patriarkis, dan ketuhanan perempuan dalam sosok Dewi diganti menjadi ketuhanan laki-laki dalam sosok Bapa. Agama Ibrahim pun menganggap agama Dewi sebagai penyembahan berhala, karena menurut Ibrahim sang pencipta hanya ada di surga yang suci dan jauh, bukan di bumi yang penuh patung, tumbuhan, binatang, dan manusia. Seketika itu juga, ibadah kepada sang Dewi dan segenap perayaan-perayaan lainnya dianggap najis. Ketiga agama Ibrahim, Yahudi, Kristen, dan Islam, telah menajiskan ibadah Pagan, yaitu karnaval pemujaan Dewi, syair, tari-tarian dan nyanyian yang penuh pengagungan terhadap tubuh perempuan, serta hubungan seksual yang dilakukan oleh para pengikut sang Dewi di kuil demi keteraturan alam semesta.


Ibadah sekarang bukan lagi perayaan karnavalistik yang dulunya tiada jarak antara tuhan dengan manusia, bebas menyembah dengan cara apa saja, mau jungkir balik kek, mau nari-nari kek, mau orgy party kek, tidak ada yang menuntut dan dituntut, tidak ada yang dibebankan pada manusia. Ibadah sekarang justru dibatasi menjadi peperangan baik dan buruk, yang sayangnya definisi baik dan buruk itu dikuasai oleh segelintir orang yang mengaku-ngaku sebagai orang yang paling dekat dengan sang pencipta. Ibadah yang dulunya dilandasi dengan rasa cinta yang pasrah kepada sang Dewi yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, diganti ibadah yang penuh intrik politik, paksaan, dan ketakutan kepada Bapa yang jauh di surga sana. Makna agama telah berubah. Dari cinta menjadi takut. Dari jujur menjadi bohong. Dari tulus menjadi munafik.


Björk tampaknya jengah dengan ribuan tahun kemunafikan dunia tersebut. Terbukti dunia ini semakin kacau dengan adanya peperangan, pemaksaan, penghinaan kepada orang yang dianggap lemah. Lagu-lagu di album terbarunya punya suara yang khas. We are the earth intruders, katanya. Declare independence, katanya pula. Dia menyerukan kembali femininitas Pagan di konser ini. Ketika semua mata dan emosi tertuju padanya, menari, menyanyi, meneriakkan kebebasan dan ragam emosi yang manusiawi, dengan iringan musik yang tidak dibatasi sistem atau genre, suasana pun menjelma bagaikan karnaval Pagan. Dalam tarian Björk yang tidak beraturan itu, kadang berlari, kadang melompat-lompat, kadang menggerak-gerakkan tangannya dengan cepat tak tentu arah, kadang mencakar-cakar siap menerkam, kadang menggeliat-geliat seperti kupu-kupu hendak lepas dari kepompong, saya menangkap femininitas yang kuno itu, suatu desire yang berabad-abad telah dikekang oleh apa yang dinamakan ‘kewajaran’ dan ‘normalitas’. Dalam interview-nya, Björk memang menamakan ini sebagai femininitas Pagan, yang memang jelas hendak menertawakan maskulinitas dunia modern yang rigid, kaku, penuh topeng, dan selalu ingin tampak ‘normal’.


Sebagai ‘dewi Pagan’ malam itu, Björk menertawakan kenormalan, baik itu kenormalan dalam berpikir maupun bergerak. Dia hendak menjadi gila, mengajak orang untuk membebaskan diri masing-masing, mengeksplorasi kembali ‘kepurbaan’ kita, warna-warni irasionalitas dalam diri kita yang selama ini terjebak dalam pola pikir rasional (karena hidup bermasyarakat selama ini selalu seperti itu). Saya lihat memang cara dia cukup berhasil, beberapa orang di depan saya membebaskan diri untuk menari dengan aneh, sesuai keinginan masing-masing. Orang-orang berdiri, menari, menyanyi, dengan cara yang tidak beraturan. Beberapa tampak seperti sedang ‘high’ atau mabuk, dengan gerakan badan yang tidak sesuai dengan irama lagu. Tarik-menarik logika memang terjadi berulang kali saat itu, ketika saya dan teman saya masih saja dikuasai rasio, muncullah kata-kata di mulut kami, “ih…ini orang di depan kita, autis kali ya!” Sementara orang-orang yang tidak mengerti maksud Björk hanya bisa membisu, terpana, bingung dengan suasana konser yang rasanya weird dan awkward itu. Ini konser yang aneh! Mungkin itu pikir mereka. Tetapi ketika saya mulai mencoba untuk ‘tidak peduli apa kata orang’, dan membuka pintu saya kepada arus emosi yang berdentam-dentam, saya pun menari-nari, menyanyi, dan lompat-lompat, mulai menemukan, bahwa inilah basis mula-mula dari kebebasan berekspresi yang sering disebut-sebut aktivis HAM. Bagi saya, ketika lepas dari ‘sistem’, memang seperti merasa hidup kembali, merasa segar, dan mulai bisa melihat bahwa seperti inilah musik yang manusiawi, seni yang seakan-akan menggedor-gedor jiwa.


Permainan emosi yang dahsyat yang saya terima dari kehadiran (presence) Björk tersebut memang berwarna-warni. Kalau disederhanakan, seperti ini, dalam lagu Army of Me dan Declare Independence saya merasakan amarah sekaligus semangat untuk menerjang, ada impulse yang sangat kuat untuk meronta-ronta di situ. Ini sesuai dengan nuansa lagu dan liriknya, yaitu “And if you complain once more, you’ll meet an army of me.“ (Army of Me), dan “Declare independence, don’t let them do that to you! Raise your flag!“ (Declare Independence). Dalam lagu Hyperballad, saya melonjak-lonjak, penuh rasa bahagia yang membuncah, sesuai dengan irama lagunya yang dance, ditambah dengan permainan laser yang luar biasa. Kebahagiaan yang dirasakan di lagu itu adalah rasa cinta yang sincere, tulus, memberi, seperti liriknya, “I go through all this, before you wake me up, so I can feel happier, to be safe again with you.” Dua lagu tersuram di konser itu adalah Jóga dan Pagan Poetry. Suasana menjadi hening, ada rasa hollow yang cukup dalam dan gelap ketika Björk menyanyikan lirik “And you push me up to this state of emergency, how beautiful to be.” (Jóga) dan “On the surface simplicity, but the darkest pit in me, is pagan poetry, pagan poetry.” (Pagan Poetry). Rasa sedih yang tak tertahankan pun saya rasakan di lagu Unravel, yang dinyanyikan Bjork hanya dengan iringan alat tiup dari grup brass section-nya. Lagu yang nuansanya gundah itu menerobos atau lebih tepatnya menohok hati saya, membuat miris. Air mata saya pun keluar tanpa bisa saya tahan. Liriknya memang menggambarkan kehilangan rasa cinta mula-mula, “Our love in a ball of yarn, so when you come back, we’ll have to make new love.


Ada satu lagi yang sangat saya sayangkan, yaitu ini cuma pertunjukan saja. Ini bukan karnaval pada kehidupan nyata, jadi ketika konser berakhir, rasanya semua emosi saya yang telah bermain-main dengan bebasnya tadi dicerabut dengan tiba-tiba. Saya belum puas, dan terpaksa harus mengakhiri euforia ini. Parahnya lagi, sang dewi Pagan mengakhirinya dengan lagu Declare Independence, lagu yang punya terjangan dashyat dan membobol semua sistem nada. Di akhir bait yang dia nyanyikan, confetti dari langit-langit yang banyak sekali jumlahnya menghujani penonton festival, membuat penonton berteriak gembira bahkan histeris, melompat-lompat, belum lagi laser yang menari-nari tanpa ampun dan kilatan lighting yang menggempur-gempur tubuh semua orang. Ini benar-benar spektakular, teatrikal, dan berakhir dramatis. Bukankah ini mengingatkan kita akan klimaks? Akan orgasme? Dimana segalanya diakhiri dengan indah dan perasaan yang membuncah keluar? Tubuh manusia yang mencapai batas kekuatannya? Entah mengapa, saya mencerna ini sebagai puncak dari karnaval Pagan itu tadi, yang biasanya memang selalu diakhiri dengan penyatuan spirit manusia dan sang Dewi, dengan hubungan seksual sebagai simbolisasinya. Secercah ‘surga’ yang dirasakan manusia ketika dia orgasme. Detik terakhir Björk keluar panggung, diiringi oleh para ‘pengikutnya’, yaitu grup brass section yang semuanya perempuan sambil tetap menari-nari, gegap gempita belum berakhir. Saya mengerti dan mengangguk, mengiyakan, bahwa ini konser paling spiritual yang pernah saya alami, padahal ini konser sekuler dan bukan musik rohani. Aneh bukan, merasakan kerohanian yang tinggi dalam sebuah konser yang dipertunjukkan oleh seorang Björk yang katanya adalah seorang atheis? Memang aneh, weird rasanya.


Seperti semua yang harus diakhiri dengan tiba-tiba, saya pun merasa belum puas. Saya ingin lagi, lagi, dan lagi. Tetapi teriakan “we want more” yang dibahanakan oleh seluruh penonton sudah diladeni tadi, ketika para aktor panggung break sebentar sebelum lagu Declare Independence dimainkan sebagai penutup. Teriakan “we want more” yang saya dengar seperti memanggil-manggil sang Dewi Pagan untuk kembali, rupanya sudah lunas dibayar. Sang Dewi harus mengakhirinya. Manusia kembali menjalani hidup ‘normal’. Tidak ada lagi kultus kepadanya, tidak ada lagi euforia, karena ini semua cuma pertunjukan. Tapi bagi saya, pengalaman spiritual ini terus mengendap dalam diri saya, saya masih bisa merasakan karnaval yang berdentam-dentam tersebut. Di telinga saya seperti ada sekelompok troubador, kelompok musik keliling di jaman kuno dan beraroma Pagan yang memiliki tradisi untuk selalu menyanyikan tentang sang Dewi yang tidak pernah mati. Ini bagi saya semacam orgasme yang tidak berakhir, jouissance yang terus-menerus ada, karena yang dirayakan saat itu adalah femininitas. Orgasme feminin bukanlah orgasme maskulin. The feminine itu bukan lingga yang lemah setelah menumpahkan cairannya dan mencapai puncaknya. The feminine itu yoni, ibu bumi yang justru semakin menguat ketika telah mencapai puncaknya, dan tetap hidup di kala the masculine lemah, terkulai, dan mati. Sebagai ibu bumi, dia terus melahirkan sesuatu yang baru, maka itu oleh para feminis Perancis disebut jouissance yang tidak pernah berakhir. Muncul bernas-bernas baru, yang terus melahirkan ide-ide baru, yang membebaskan. Mungkin inilah mengapa Björk terus-menerus memunculkan sang Dewi, yang menurut agama Ibrahim, hukum/kaidah ayah (al qaida al ubua), patriarki, rasionalitas, sang Dewi telah mati. Padahal sang Dewi tetap hidup, dan mengingatkan kita untuk selalu ‘membumi’, di saat kita telah mencapai puncak atau meraih secercah surga. Mengingatkan kita untuk kembali ke akar. Ini memang radikal, mengakar.


Mungkin bagi pembaca, ini terdengar seperti romantisasi selera pribadi, atau bahkan pemujaan berlebihan terhadap satu value yang di mata banyak orang tidak selalu benar. Mungkin ada juga yang menyebut saya mem-feminisasi-kan sesuatu yang seharusnya memiliki beragam interpretasi. Tapi memang saya toch tidak lupa kalau ini semua cuma pertunjukan. Bagi saya, yang penting adalah bagaimana mencernanya, tidak peduli result-nya. Memang ini cuma sekadar interpretasi, dan apresiasi, tentu saja. Ini suatu bentuk apresiasi saya terhadap suatu karya seni, dan saya hendak menunjukkan apa saja sifat-sifat yang membuatnya berkualitas. Bagi saya, karya seni Björk memang punya suatu unsur yang penting, yaitu memanusiakan manusia. Tidak heran, salah satu alasan Unicef, badan PBB, memilih Björk sebagai duta untuk membantu anak-anak di seluruh dunia (termasuk Aceh), adalah karena ketulusannya atau sikapnya yang apa adanya. Sampai sekarang masih banyak orang yang menganggap Björk salah satu artis tersinting yang pernah ada, karena dia tampak tidak terdikte dengan pasar global, terutama Hollywood. Dia termasuk ‘sisa-sisa’ selebriti yang bertahan dengan sikap ‘true to herself’, memang gak pedulian orang mau ngomong apa. Selain itu, perempuan berumur 42 tahun ini juga konsisten dengan pilihannya, terutama soal musiknya, politiknya, dan fashionnya. Meskipun berdomisili di Amerika Serikat dan bersuamikan orang situ juga, dia tidak mau menggunakan celana jeans, karena katanya pakaian satu itu menyimbolkan dominasi Amerika kepada dunia.


Ketika melangkah keluar dari gedung Tennis Indoor Senayan, hati saya bahagia dan damai, karena salah satu keinginan saya terpenuhi, yaitu melihat langsung Björk dan karyanya, yang selama ini hanya saya nikmati lewat telinga. Itu tampaknya hanya menjadi impian belaka sekitar 11 tahun lalu ketika pertama kali mengenal musiknya saat saya masih SMP dan menjadi fansnya di akhir masa SMU. Saya melihat sosok Björk yang politis dan keras dalam lagu-lagu Declare Independence, Hope, dan Wanderlust. Saya melihat sosok Björk yang feminis dalam lirik-liriknya yang menuturkan pengalaman perempuan, terutama dalam lagu Isobel,Immature dan Pneumonia. Saya melihat sosok Björk yang seksual dalam lagu-lagunya yang berjudul Venus As A Boy, Pleasure Is All Mine, dan Enjoy. Saya melihat dengan mata sendiri, sosok Björk yang humanis dan penuh kasih sayang, ketika menyanyikan lagu slownya, All Is Full Of Love, dia seakan memberikan cinta kepada para penonton dengan gerakan tangannya yang memberi, memberi, dan memberi, tepat ketika kata ‘love’ disuarakannya. Entah kenapa, tepat saat itu saya merinding. Hati saya berkata, inilah dia, seorang penyanyi hebat sekaligus komposer yang benar-benar mencintai apa yang telah dia ciptakan. Cintanya itu membuatnya tidak pernah mati, dan di konsernya malam itu, semua terbukti. Teriakan “we want more” untuknya yang tak pernah berhenti dan standing ovation dari seluruh penonton adalah buktinya.


2 April 2008



2 comments:

  1. U writin' like a bjork, genius, ide2 tulisan ini seperti mendengarkan lagu bjork. Fantastic

    ReplyDelete