Wednesday, April 8, 2009

Tolong Pikirkan Ulang Tentang RUU APP!

Apakah yang dikerjakan oleh parlemen kita di saat Indonesia mulai beranjak ke kepunahan seperti ini? Tentu saja, membuat suatu undang-undang tentang cara berperilaku dan berpenampilan orang-orang yang ada di teritori negeri ini! Kemarin saya lihat berita tentang 20 organisasi Islam yang mendukung percepatan undang-undang tersebut agar segera disahkan. Mereka berdemonstrasi dan berorasi di Bundaran Hotel Indonesia, seakan-akan hendak membalas dendam kepada para aktivis perempuan, seniman, dan model yang tempo hari melakukan long march yang sama, tetapi dengan tujuan yang berbeda, yaitu menolak rancangan undang-undang paling bodoh yang pernah dirancang di negeri ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP).

 

Organisasi-organisasi yang mendukung RUU APP tersebut tanpa henti membela kepentingan golongan mereka yang tingkat urgensinya sangat tidak penting untuk kondisi saat ini! (Dan saya pikir untuk kondisi apa pun!) Mereka dengan dalih menjaga moral bangsa—tentu saja dengan mulut besarnya Rhoma Irama, Inneke Koesherawati, Neno Warisman, or whatever lah!—seakan-akan tidak mau mengerti sama sekali dan tidak mau melihat bahwa yang dibutuhkan oleh jutaan orang di negeri ini adalah perut kenyang dan gizi yang baik! Mereka juga tidak sadar bahwa sebenarnya bangsa ini adalah bangsa yang rentan dengan apa yang dinamakan disintegrasi. Bangsa ini bukan bangsa yang homogen (dan saya tidak percaya ada bangsa yang homogen, kecuali mungkin konsep homogenitas ideologi Wahabi yang berkuasa di Arab Saudi).

 

Kita mempunyai ratusan bahkan ribuan suku serta sejumlah besar subkelompok yang kita tidak tahu apa namanya. Kita benar-benar rentan. Ingatlah bahwa kita cuma disatukan oleh tiga butir kalimat dalam ucapan Sumpah Pemuda. Ingatlah bahwa kita pernah dibawah ketiak kolonial beratus tahun lamanya, dan perempuan pun baru boleh sekolah hanya gara-gara ada Kartini dan beberapa pahlawan perempuan lainnya. Ingatlah juga, bahwa Kong Hu Cu pun baru dianggap “agama” pas Imlek tahun 2006 ini. Kita hidup di tanah yang jahat. Tanah yang diperebutkan oleh tuan-tuan yang tidak berpolitik dengan sopan, penjajah-penjajah baru, penjajah-penjajah pikiran kita, dan mereka sekarang hendak menjajah cara berpakaian kita. Bayangkan, cara berpakaian! Saat ini, ketika orang lain di teritori lain telah memikirkan bagaimana membuatprocessor komputer dari elemen cair, kita baru kemarin saja melihat anguish massa dan ancaman disintegrasi di Abepura, Papua. Kita sudah punya kelompok-kelompok macam GAM, Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka, dan contoh kongkritnya adalah Timor-Timur yang sudah menjadi negara sendiri. Mungkin itu sebenarnya tanda bahwa negeri kaya sumber alam ini rentan untuk sebuah kesatuan homogen. Nasionalisme dipertanyakan. Konsep negara-bangsa adalah warisan abad penjelajahan, jamannya Vasco Da Gama, era pencerahan. Sekarang, kita tahu, identitas terpecah, what’s jati diri? Kita adalah manusia fragmen. Millenium, dengan sifatnya yang abu-abu, adalah cyber, no territory, no limit, no origin. Multikultural, global, kapital, dan kita semakin tak tahu di hari depan ada apa, so Francis Fukuyama salah dengan “akhir sejarah”-nya, pun ES-BE-YE yang gemar membaca Fukuyama. Di jaman serba post-kolonial, great artists have no country (Alfred Du Masset).

 

Ketika RUU APP ini menjajah dan menyebarkan virus polisi moralnya ke segenap warna-warni multikultural Indonesia, kita akan melihat semakin meningkatnya ketidakpercayaan massal di berbagai tempat, seperti Bali, Papua, dan bahkan di ibukota sendiri, Jakarta, you know kota itu punya 9 juta penduduk dengan latar belakang suku, agama, pemikiran super beragam yang kita nggak tau dan urban culture adalah sebodo amat, emang gue pikirin! Gue kan kudu nyari duit buat makan! Maka RUU APP adalah absurd! Kenapa sih mereka tidak gencar mencari cara untuk mengubah keadaan bayi-bayi busung lapar dan kekurangan gizi? Kenapa sih mereka tidak gencar mencari cara untuk mengubah keadaan ujian CPNS yang bahkan sudah bikin seseorang bunuh diri karena tidak lulus? Kenapa sih mereka tidak memikirkan nasib buruh yang kerja mati-matian cari makan cari duit untuk bayar listrik dan dipecat semena-mena oleh para pengusaha yang juga repot memikirkan tarif BBM dan listrik yang naik terus? Kenapa kita baru sekarang repot mikirin blok Cepu yang akan diambil Exxon raja minyak Amerika, sedangkan kalau kita telaah, negara kita bisa saja dibeli sewaktu-waktu oleh negara-negara adidaya? Lantas di luar semua itu, kenapa di Koran Tempo hari ini (Minggu, 26 Maret 2006), ES-BE-YE masih saja gusar jika melihat pusar? Bener ternyata acara yang dibikin Indosiar, negara kita ini bener-bener Republik BBM (Benar-Benar Mabok).

 

Sinting memang, Rhoma Irama cs. Mereka pikir, jika pusar ditutup maka serta merta negeri kita akan aman tentram sentosa dan sejahtera. Saya baru pertama kali tahu ada sejarah negara yang repot memikirkan fashion daripada bikin makmur rakyatnya. Saya pikir, kejadian ini akan terekam dan suatu saat nanti dibaca oleh generasi entah kapan, bahwa Indonesia punya segelintir orang-orangan sawah di DPR dan grassrootsyang guobloknya minta ampun. Bahkan Orde Baru pun tidak mengatur cara orang berpakaian! Memang, mereka telah membunuh jutaan orang tak bersalah dan menghilangkan ribuan orang lainnya, tetapi saya pikir, gejala jahiliyah saat ini lebih parah. Mereka pikir kita orang berbudaya gurun pasir! We’re not Arabians!Tidakkah mereka baca rintihan payah para perempuan yang dipaksa mengenakan burqa di era Taliban-Afghanistan, bola mata mereka pun tak kelihatan, apalagi mau kerja cari duit? Ketika mereka ketahuan nggak pakai burqa di depan umum, cambukan datang mendera, dan semua audiens acara cambuk-mencambuk tersebut adalah laki-laki karena perempuan dilarang melihat siksaan dan harus tinggal di rumah. Sementara para bocah laki-laki ingusan ikut melempari perempuan haram tersebut dengan batu. Apalagi? 

Yah, kita tahu orang-orang seperti itu tidak kenal namanya toleransi. Gimana nggak, patung Budha berukuran raksasa yang dirawat mati-matian oleh umat Budha di Afghanistan, langsung diledakkan dengan TNT tanpa ampun karena Taliban pikir, itu sisa-sisa berhala yang belum dihancurkan oleh nabi Ibrahim (Lha, Ibrahim kan katanya nggak pernah ke Afghanistan!). Semua media di seluruh dunia mengecam ini. PBB langsung bertindak. Oya, jika memang Sidharta telah menjadi berhala, tak heran candi Borobudur pun pernah dibom, sampai sekarang kita menutup kasus ini rapat-rapat. Tak ada kebebasan bicara di negeri ini. Harga mati bagi para penentang ketua pansus RUU APP yang bodoh banget, Balkan Kaplale (baca wawancaranya di majalah Tempo edisi Maret).

 

Kita jelas menolak Indonesia yang akan diubah menjadi Darul Islam Indonesia. Pun kalau misalnya Indonesia mayoritas Kristen, kita juga menolak Indonesia menjadi Christian Republic of Indonesia. Pokoknya kita menolak kalau Indonesia menjadi negara agama. Jika seperti itu, maka bullshit jika rakyatnya bilang bahwa negaranya adalah demokrasi, karena negara agama berdasarkan teokrasi, bukan konstitusi. Negara agama adalah hal yang paling irasional yang pernah berdiri di bumi ini.

 

Kita selalu curiga terhadap government, terhadap institusi negara dan aparat-aparatnya. Kita saja sudah kritis terhadap sistem itu, apalagi terhadap pemerintahan yang orang-orangnya kalau mau menjalankan negara, harus mendengar Tuhan bicara apa dulu. Ya sudah, kalau gitu bawa Tuhan turun ke DPR trus suruh ngomong di loud speaker, apa gerangan pikirannya, supaya negara Indonesia ini bisa lebih baik. Arogansi macam apakah yang ada di Aceh, misalnya, dengan mengatakan bahwa tsunami terjadi karena perempuan Aceh tidak pakai jilbab? Jadi muka perempuan kudu dibungkus dulu rapet-rapet, biar ga ada bencana alam lagi, gitu? Logika macam apa itu, bang? Belajar ilmu pengetahuan alam di sekolah mana yang kayak gitu? Yang logis adalah, tsunami mengakibatkan GAM menyerahkan senjata dan berdamai, bahwa bencana bisa bikin orang jadi berpikir seribu kali, bukannya membuat spanduk bertuliskan “Perempuan Berbusana Ketat Sama Dengan Syeitan”. Ibu saya yang sering pakai baju ketat kalau ke kantor karena Jakarta panas dan teman-teman perempuan saya yang sudah tentu berbaju ketat setiap hari karena memang begitulah pakaian mereka sehari-hari, dan jutaan perempuan Indonesia yang kita tahu, bajunya bukan mode gurun pasir, kenapa harus dianggap sama dengan setan? Ini kacau. Ini sinting namanya. Kenapa lantas semua orang harus berpakaian ala ustad Jefry dan ustadzah Lutfiah Sungkar? Okelah, fair, kalo kita nggak boleh kebarat-baratan, kenapa kita harus menggantinya dengan kearab-araban? Bukannya Arab itu terletak di barat juga?This is ridiculous

 

Saya tidak menganggap perdebatan soal substansi RUU APP akan berujung pada win-win solution. Kalau kata dosen saya yang ngetop cara ngomongnya dan temennya sastrawan Sapardi itu, “win menurut siapa?” Ya, sama-sama “menang” menurut siapa? Kita tahu, cuma ada dua fraksi yang menolak benar-benar, yaitu PDIP dan Golkar. Sementara PKB terbelah dua, coba kalau Gus Dur nggak ada, maka PKB no problem, pasti dukung bang Rhoma! So, perdebatan soal substansi, it’s enough. Yang ada sekarang, kita harus tolak benar-benar. Tolak seluruhnya, tolak undang-undang bodoh itu. Indonesia belum siap mengatur distribusi film bokep. Apalagi sampai ngatur-ngatur cara orang berpakaian. Kelewat kurang kerjaan itu namanya. Bercermin dong sekali-sekali, kita belom siap ngatur-ngatur yang kayak gitu. Sebelum semuanya kenyang dan sekolah, nggak penting lah ngatur-ngatur urusan tubuh dan seksualitas. Sebelum Indonesia benar-benar sekuler, memisahkan urusan negara dan urusan agama, makan dulu baru sholat, memberikan kebebasan masalah ibadah kepada tiap-tiap individu tanpa ada campur tangan negara, sebelum Indonesia pinter-lah, maka kita sebenarnya masih ada di jaman jahiliyah! 

27 Maret 2006

No comments:

Post a Comment