Thursday, April 2, 2009

Kritikus Kritis


Sastra Indonesia, atau sastra mana pun juga, tidak akan berkembang jika komponen pendukungnya sendiri, yaitu kritik sastra, juga tidak berkembang. Sepertinya memang ada hubungan mutualis antara sastra dan kritik sastra, apakah kritik sastra akademis, atau pun kritik sastra non-akademis. Selalu ada tarik-menarik antara kritik sastra akademis dan kritik sastra non-akademis. Realita ini terbangun dari adanya keuntungan dan kelemahan yang masing-masing kritik berikan, dan rupanya itu ikut berpengaruh kepada sastra. 


Kritik akademik, yang mengklaim bahwa setiap karya sastra harus ditelaah dengan metode dan mengupasnya bagian per bagian, percaya bahwa karya sastra juga mempunyai sisi ilmiahnya yang berperan besar pada perkembangan pemikiran dalam sastra. Seringkali para kritikus akademik—yang sebagian besar adalah orang-orang yang berkecimpung dalam kampus atau kelompok-kelompok belajar sastra—memang tak bisa melepaskan penelaahan karya sastra tanpa ada frame of mind atau kerangka pikiran yang dibangun dari penerapan teori-teori sastra pada penelaahan tersebut. Sangatlah luas jangkauan dari teori-teori yang diterapkan oleh para kritikus akademik tersebut. Apakah bersifat lebih ke intrinsik karya sastranya seperti teori strukturalisme dan intentional fallacy, atau pun teori-teori sosial seperti marxisme, feminisme, dan sebagainya.

 

Fakultas Sastra sebagai wahana yang tepat untuk mengembangkan kritik sastra akademik melakukan kritik karya sastra dengan seperangkat metode ilmiah dalam karya tulis akhir atau skripsi. Pendidikan yang berbasis kritik akademik seperti Fakultas Sastra memang memberi peran besar bagi interaksi-interaksi yang terjadi dalam masyarakat sastra yang selalu mempunyai dua komponen yang juga saling tarik-menarik, yaitu konvensi dan inovasi. Pengaruh kritik sastra akademik terhadap interaksi tersebut ada pada bagaimana akhirnya karya-karya sastra yang ada kembali pada masyarakat pembaca sendiri, dan sastrawan tidak lagi berusaha “mengadvokasi” karyanya—dan yang mungkin lebih tepat melakukan itu adalah para kritikus sastra, bergantung pada konvensi dan inovasi di masyarakat, mereka dapat mengkritik atau pun membela dengan hasil penelitiannya terhadap karya tersebut.


Tetapi kita juga tidak dapat melupakan dengan orang-orang yang mungkin secara eksplisit tidak pernah mengenyam pendidikan sastra secara akademik tetapi mempunyai sense of belonging atau rasa mempunyai yang kuat juga pada sastra. Seringkali mereka malah mempunyai penelaahan lebih mendalam tentang karya-karya sastra (atau bahkan terhadap teori-teori kritik sastra itu sendiri!) dan ini memberikan warna yang cukup berbeda dengan kritikus akademik karena orang-orang di luar itu mempunyai spontanitas dan sensibilitas yang lebih kental terhadap—terutama—inovasi yang ada dalam karya-karya sastra. Orang-orang seperti Nirwan Dewanto yang bahkan bukan mahasiswa sastra justru seringkali muncul dengan pembahasan-pembahasan sastra dan budaya di banyak jurnal.


Karena seringkali lebih mendetail dan mendalam itulah, kita tak bisa mengatakan dengan gampang bahwa kritikus non akademis tidak menganggap karya sastra seperti tubuh yang bisa dibedah-bedah begitu saja. Beberapa kritikus non akademis yang tidak pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra juga sering memakai teori strukturalisme dan pasca-strukturalisme dan begitu juga dengan sebaliknya, beberapa kritikus akademis yang jelas-jelas berpengalaman dalam pendidikan sastra sering terlalu memperluas kajian karya sastranya ke arah yang lebih jauh dari maksud yang ada dalam karya itu sendiri. Penggeneralisasian kualifikasi para kritikus sastra seringkali tidak bisa dijadikan patokan atau bahkan basis awal dari perkembangan dialektika sastra antara “thesis” konvensi dan “antithesis” inovasi.


Kita tidak bisa dengan mudah menilai apakah kedalaman dan kekritisan yang ada dalam hasil penelaahan karya sastra oleh kritikus akademis lebih baik daripada kritikus non akademis, juga sebaliknya. Gampangnya, kita juga tidak bisa begitu saja menilai bahwa kritik sastra koran lebih mendalam daripada kritik sastra kampus yang berupa skripsi. Memang benar bahwa banyak mahasiswa sastra yang tidak mendalami lebih serius kritiknya dalam skripsi dan seringkali hanya bersifat teknis belaka—seperti mengumpulkan berbagai macam pandangan/teori dari banyak kritikus dan dijejali dalam satu buku yang disebut “skripsi”—tanpa efek apa-apa terhadap perkembangan sastra itu sendiri. Tetapi kita juga tidak bisa menggeneralisasi. Tidak semua mahasiswa yang ada di sastra menganggap bahwa skripsinya hanya sekadar formalitas belaka. Ada banyak mahasiswa yang memang pada awalnya berbekal kritisisme dan tergugah untuk mengupas habis karya sastra yang dianggapnya sejalan dengan teori-teori yang menggugahnya untuk memandang lebih kritis pada ada yang terjadi di masyarakat.

 

Selain akar kata “kritik” yang artinya “menghakimi”, ternyata kritik itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari jiwanya yang “kritis” dan kritisisme yang berusaha dibangun dalam kritik sastra adalah mempertanyakan ulang semua yang ada, terutama konvensi yang telah diciptakan bersama—apakah itu terletak pada bentuk-bentuk teoretis atau pun fiktif seperti dalam karya sastra.

 

Saya pikir, kekritisan ini bukan hanya tugas kritikus sastra saja, tetapi juga para sastrawan yang menghasilkan karya-karya sastra. Jika kita beranggapan bahwa bagian “kritik-mengkritik” dan “menjadi kritis” itu adalah peran kritikus sastra saja, maka akan terjadi pembekuan pemikiran dan tidak terjadi seni dialektika lagi pada jiwa sastrawan-sastrawan. Saya tidak begitu setuju terhadap konsep l’art pour l’art atau “seni untuk seni” karena seringkali sastra yang menekankan pemikiran seperti itu justru tidak membawa dampak yang justru dibutuhkan masyarakat. Seni untuk seni adalah konvensi menara gading sastra yang sudah ketinggalan jaman dan sengaja membisu terhadap konteks-konteks yang teramat luas dan nyata dalam karya sastra. Maka saya pun tidak setuju apakah sastrawan hanya perlu berbekal intuisi dan romantisisme belaka—melainkan, mereka juga adalah bagian dari dialektika itu sendiri, dan apa yang mereka harus tolak dalam masyarakat dan segala ketidaksetujuan mereka terhadap sistem-sistem yang ada bisa ditampakkan dalam karya-karya mereka dengan syarat: berstrategi literer. Sastrawan yang mengerti perubahan jaman tidak akan tinggal diam dalam narasinya. Justru ia sadar bahwa sastra adalah wahana yang tepat untuk mengubah dunia—minimal lingkungan kecil di sekelilingnya.

 

Dan seharusnya itu juga menjadi motivasi serta semangat kritisisme yang ada dalam jiwa kritikus—baik akademis maupun non akademis. Saya benar-benar tidak setuju jika kritikus-kritikus sastra menerima mentah-mentah sebuah karya sastra tanpa ada sulutan/percikan kritisisme dalam dirinya dan menganggap bahwa karya itu hanya sekadar “baik/buruk untuk dibaca”—tanpa menjabarkan maksudnya, mengapa “buruk” dan mengapa “baik? Dan atas dasar apa seorang kritikus memberi penilaian seperti itu? Dan apakah dasar penilaian itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan empirik? Atau sekadar permainan catut-mencatut teori belaka tanpa ada latar belakang spesial dan bertanggung jawab dalam pemilihan teori tersebut?

 

Semuanya harus jelas dan penjelasan itu adalah pencapaian serta proses mengkritik karya sastra yang takkan pernah selesai selama masih ada yang namanya “sastra”. Merujuk pada konsep Baconian yang menyatakan bahwa ketika manusia memiliki pengetahuan, maka ia bisa menguasai apa pun, saya tahu bahwa ketika seorang kritikus sastra belum merasa “menguasai” pengetahuan tersebut, maka ia pun belum bisa menjadi kritis dalam menilai setiap karya sastra. Kritisisme itu sendiri tidak didapat begitu saja dan semua itu—mungkin—memang berasal dari kegelisahan seseorang akan dunia yang ada—maka itu bukan hanya sastrawan yang merasakan kegelisahan, tetapi juga kritikus!

 

Tetapi gelisah bukan sekadar gelisah. Kita tahu bahwa dunia yang kita hidupi adalah dunia ilmu pengetahuan, dan banyak penguasa yang merasa menguasai ilmu pengetahuan tersebut—apakah ia bertanggung jawab atau sembarangan. Dan dunia yang ilmiah, saya pikir, tidak bisa dikritik hanya dengan intuisi belaka. Harus ada bumerang yang bisa kita lemparkan untuk menguji setiap hal yang “merasa” ilmiah dan—tentu saja—“merasa” benar. Bumerang itu sendiri juga adalah kritisisme yang dibangun dari penguasaan atas ilmu pengetahuan. Intuisi selalu mengatakan “ada sesuatu yang salah/kurang” dan “ada sesuatu yang harus diperbaiki dan diperbaharui”, dan kita menggunakan pemikiran dan pengetahuan kita untuk menguji itu semua, dan juga menafsirkan ulang atas apa yang telah ditafsirkan orang lain. Proses seperti itu harus dijalani oleh setiap kritikus sastra yang memang telah “merasa” mempunyai kritisisme yang dia perlukan dalam mengkritik karya sastra—jadi saya pikir, adalah omong kosong jika seorang kritikus sastra—apakah akademik/non akademik—hanya berbekal intuisi dan sensibilitas belaka. Kritikus butuh kritisisme yang bertanggung jawab.

 

Kembali pada interaksi yang terjadi antara kritikus akademik dan kritikus non akademik, sepertinya tidak ada perbedaan derajat yang signifikan dalam mencoba kritis terhadap karya sastra. Justru, menurut saya, orang-orang yang merasa “sastrawan” atau “kritikus” tanpa bekal apa-apa seringkali muncul ke permukaan membicarakan karya sastra dengan basa-basi saja dan kritiknya itu hanya menjadi alat untuk mencari massa saja—mereka tidak mengerti bahwa harus ada perubahan dalam masyarakat!

 

Contohnya ketika novel Saman dan Larung karya Ayu Utami sedang terkenal, plus banyak muncul juga para penulis perempuan—entah mereka juga berstrategi literer atau tidak, yang jelas perempuan bebas menulis apa yang mereka rasakan—maka “karnaval sastra” tersebut segera disambut oleh para kritikus. Ada yang mengatakan mereka adalah penulis-penulis berbakat dan sudah waktunya sastra Indonesia juga di-reformasi. Tetapi juga tidak sedikit yang berteriak-teriak mencemooh karya-karya mereka sebagai “sastra mesum” karena terlalu mengumbar seksualitas—tanpa ada objektivitas dari para kritikus tersebut untuk melepasnya dari masalah “moralitas” penulis dan pembaca. Saya pikir, memang ada pihak-pihak kritikus sastra yang benar-benar mengandalkan intuisi dan tanpa mau mengkajinya secara ilmiah—alias, banyak kritikus sastra yang benar-benar melihat impresi belaka dari apa yang mereka baca.

 

Kritikus tanpa kritisisme yang memandang bahwa strategi literer penulis tidak perlu, adalah berbahaya. Apa bedanya mereka dengan pemegang konsep l’art pour l’art itu tadi? Lantas apa gunanya sastra mencoba eksis di masyarakat? Saya pikir, sastra tidak perlu dicampuradukkan dengan moralitas dan masalah akhlak—karena hal-hal itu sangat pribadi sifatnya sehingga orang harus belajar untuk menghargai konsep orang lain tanpa perlu menanyakan hal pribadi—dan sastra itu sendiri adalah wahana ekspresi, segala macam ekspresi manusia, termasuk seksualitas, karena seringkali masyarakat terlalu naif untuk meniadakan ekspresi-ekspresi tersebut, sehingga kenaifan itu membuat manusia seperti robot yang “iya boss” saja tanpa perlu menjadi kritis terhadap kemapanan berpikir banyak orang.

 

Selalu ada tarik-menarik. Selalu ada dialektika. Dan saya pikir keberadaan kritikus akademis atau pun non akademis bukanlah sebuah masalah dalam dunia sastra, justru semakin beragamnya cara menelaah dari setiap orang yang berbeda, akan semakin menghidupkan dan menciptakan sejarah, tidak hanya dalam sastra, tapi juga untuk masyarakat luas. Kritikus akademis dan kritikus non akademis saya pikir hanyalah sebuah nama dan pengklasifikasian dari cara-cara yang umum dipakai dan sudah menjadi konvensi. Kalau pun mereka telah keluar dari konteks itu sekarang, itu tidak menjadi masalah, karena ketika “pengarang telah mati” (Roland Barthes), maka “kritikus telah mati” ketika karya sastra sudah menjadi bagian integral dari masyarakat. Tetapi dari kematian pengarang dan kritikus itu, tetap mereka masih hidup, dengan proses mengkritik yang tak pernah selesai dan tak pernah baku. Bagian terkecil dari karya sastra, yaitu bahasa itu sendiri pun selalu berkembang dan berubah, jadi selama manusia masih bisa berbahasa dan menulis, maka sastra akan tetap ada, juga para kritikus mempunyai wahana tersebut dan juga bersuara untuk tetap eksis.

 

Maka “adakanlah”. Dan untuk membuat “ada” tersebut, kita harus tetap menulis, harus tetap bersuara, harus tetap berbahasa dan bertanya. Pun para kritikus.


Medio 2005


No comments:

Post a Comment