Wednesday, April 8, 2009

Munarman, Si Sarjana Selebriti

Sebelum Tragedi Monas pada 1 Juni 2008, tak banyak yang tahu siapa itu Munarman. Ketika dia menjadi buron polisi dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada Rabu sore tanggal 4 Juni 2008, nama lelaki itu pun tiba-tiba melesat tenar bak selebriti yang sedang terkena gosip panas.


Cukuplah kita mendapatkan ratusan informasi dari berbagai media massa tentang dirinya yang menjadi salah satu tersangka pemrakarsa serangan brutal Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LPI) terhadap anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Cukup sudah kita tahu sifat kepengecutan dirinya, karena dia langsung lenyap ditelan bumi, sehari setelah dia berapi-api menantang polisi untuk segera menangkap dirinya; dengan berkeringat dan suara lantang (plus mata melotot), dia menyerukan untuk “Silahkan tangkap saya, Munarman, Sarjana Hukum!”

 

Dalam hati saya berkata, wah, senangnya menjadi sarjana dan punya pekerjaan tetap! (Walaupun pekerjaannya membawa dirinya menjadi buron nomor satu di Indonesia saat ini) Munarman sang Sarjana Hukum memang istimewa. Yah, mengingat banyak sekali, tak terhitung jumlahnya, sarjana di Indonesia yang menganggur lantaran lapangan kerja tak dapat menampung permintaan yang membludak. Tapi, saya bukan mau ngobrolin ekonomi atau ketenagakerjaan. Saya cuma curious dengan sang lelaki satu itu, salah satureligious zealot atau si fanatik agama yang sepertinya…tak mau kalah dengan anak-anak gaul dan selebriti jaman sekarang, yaitu NARSIS.

 

Bapak Munarman, SH. ini memang seorang yang pandai. Dengan gelar kesarjanaannya dalam bidang hukum itu dia ingin menekankan, bahwa dia sebenarnya tidak sama dengan kebanyakan preman lain. Kalau yang lain rata-rata cuma punya satu bahasa, yaitu pentungan, lelaki ini punya andalan bahasa hukum. Dia adalah seorang intelektual. Sebagai seorang sarjana hukum, dia hapal perundang-undangan, KUHP, bahkan hukum internasional seperti Deklarasi PBB mengenai Hak Asasi Manusia, Kovenan Sosial-Politik, dll.

 

Ini sebenarnya bukan suatu keanehan. Saya yakin teman-teman yang dulu dan sekarang masih bergelut dengan dunia aktivis dan gerakan bawah tanah, mengenal dia. Bagi orang awam, Munarman adalah from nobody to somebody. Tapi bagi dunia aktivis Indonesia, dia adalah muka lama. Surprise! Dia ternyata punya sejarah panjang dalam dunia penegakan HAM di Indonesia…

 

Dia adalah salah satu anak didik Adnan Buyung Nasution, seseorang yang sudah sangat kita kenal kiprahnya dalam membela keadilan dan penegakan hukum. Kalau itu kurang menjelaskan, simak rentetan sejarah Munarman berikut ini: Pada tahun 1995 dia menjadi Kepala Operasional LBH Palembang, pernah juga menjadi Komite Independen Pemantau Pemilu, lalu menjadi Koordinator Kontras di Aceh pada 1999. Dan pada era 2002 sampai 2007 dia menjadi ketua YLBHI. Sepertinya tahun 2007 pun menjadi titik klimaksnya, dan ketika berhenti dari YLBHI (atau diberhentikan), orang pun lantas ternganga-nganga ketika dia menjadi Ketua Tim Advokasi Forum Umat Islam (FUI) pada tahun yang sama. Bagaimana tidak, FUI selama ini memang berjejaring dengan komando-komando preman berjubah lainnya, yaitu FPI dan LPI (dan saya juga yakin ada oknum-oknum seperti itu di HTI dan MMI, bahkan dalam partai Islam konservatif yang cukup santun, yaitu PKS).

 

Ketika Buyung Nasution ditanya pers soal keterlibatan Munarman dalam Tragedi Monas, dia cuma bisa mengatakan: “Saya malu anak didik saya ternyata terlibat dalam kejadian ini.” Buyung mungkin bukan hanya merasa malu, tetapi mungkin juga dia memendam kegeraman. Ketika Munarman banting setir pada tahun 2007, tidak ada yang tahu dengan pasti kenapa alumni Universitas Sriwijaya Palembang tersebut sekarang justru mencaci-maki retorika hak asasi manusia. Kalau ada award untuk orang terekstrim tahun ini mungkin akan jatuh pada Munarman, karena dia tampak sangat mudah meloncat dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain. Dari seorang pejuang HAM, menjadi seorang yang menginjak-injak HAM.

 

Buyung mengatakan bahwa Munarman telah di-brainwash oleh kelompok-kelompok fundamentalis agama. Yah, bisa dikatakan seperti itu. Brainwashing yang seperti apa, tidak ada yang tahu-menahu. Saya mengartikan brainwash sebagai proses yang melibatkan hilangnya rasionalitas seseorang ketika diiming-imingi sesuatu yang baginya menjanjikan. Semacam hipnosis. Semacam klenik. Bedanya dalam kasus ini bukan pakai dukun, tapi pakai habib atau siapalah itu yang mengaku ‘pembela’ Islam. Tapi saya tidak yakin bahwa Munarman mengalami kesurupan atau pingsan ketika terjadi proses brainwash itu. Dan prosesnya juga bukan semata-mata terjadi di depan habib, didoakan, ditausiyahkan di markas FPI, atau di pesantren-pesantren super kilat yang isinya mengajarkan bahwa semua orang di luar Islam (Sunni) adalah kafir. Saya yakin proses terbesar dalam cuci otak itu terjadi dalam diri Munarman sendiri, dan si pencuci otaknya yang punya andil terbesar adalah dirinya sendiri.

 

Ketika Munarman berhadapan dengan dirinya sendiri, tentu setelah dicekoki iming-iming irasional dari kaum fundamentalis agama, dia berhadapan dengan kehendak bebasnya sendiri, atau free will. Sebagai manusia, dia punya itu. Tapi kehendak bebasnya itu tidak lagi diolah melalui proses berpikir yang panjang. Andil utama fundamentalisme terletak pada pencerabutan proses berpikir seseorang, sehingga yang terjadi pada orang-orang seperti Munarman adalah semacam perasaan euforia menggelegak yang lama-lama mengakibatkan kebutaan pada persoalan mendasar manusia, yaitu ketika dia dihadapkan pada orang lain atau dunia sekitar. Dia tidak lagi bisa membedakan mana yang appropriate, mana yang tidak. Dia tidak lagi ingat, bahwa ketika sudah berurusan dengan segala hal di luar dirinya, kebebasannya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dia tidak ingat, bahwa ada orang lain. Ketika ada orang lain, ada suara yang lain. Ketika hal-hal mendasar seperti itu saja dia sudah tidak ingat, bagaimana dia bisa hidup dengan tetangganya yang berlainan pendapat dengan dia?

 

Semua orang bebas untuk memilih dan berkehendak, apakah dia mau jadi fanatik, mau jadi orang yang seratus persen percaya pada apa yang diyakininya, itu terserah dan itu hak asasi. Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi apa yang membuat Munarman jadi orang yang bersalah dan terhukum adalah ketika dia mengajak orang lain untuk mempercayai apa yang dia yakini dengan cara-cara yang merugikan, merusak, memaksa, menyiksa. Kebebasannya kini melangkahi batas, untuk kemudian mengobok-obok kebebasan orang lain.

 

Loncatan Munarman dari ekstrim satu ke ekstrim yang lain adalah hasil dari kehendak bebasnya yang tidak dipikirkan secara rasional. Saya tidak tahu motivasi dia dulu ketika jadi pejuang hak asasi manusia, apakah benar-benar tulus atau sebenarnya juga karena euforia menjadi aktivis belaka, alias memang pada dasarnya dia senang menjadi selebriti; heboh, berapi-api, dan getol sekali menunjukkan “Ini dadaku, mana dadamu?!”

 

Ketika Munarman menantang semua orang dengan menyebutkan gelarnya, “Sarjana Hukum”, dia juga ingin menantang terutama para sarjana hukum lainnya. Saya sarankan bagi para ahli hukum untuk melihat yang sudah-sudah. Ketika dia tempo hari sering diundang di berbagai stasiun televisi untuk menggempur Ahmadiyah, semua argumen dan retorika hukum, hak asasi manusia, humanisme, yang diperjuangkan oleh para narasumber pembela kebebasan, dirontokkan semua olehnya. Karena dia sudah hapal di luar kepala. Tapi ketika dia berada dalam posisi terjepit, perawakannya yang kurus, bercukur bersih, dan tak tampak seperti preman itu, tiba-tiba langsung buyar. Di depan teve nasional dia berani menuding-nuding lawan bicaranya, menjadikan telunjuknya yang mengacung sebagai senjata tambahan selain suaranya yang makin ngotot dan matanya yang mengancam. Itulah saat sosok Munarman yang anggota “Laskar” muncul. Kalau dia bawa pentungan saat itu, mungkin lawan bicaranya sudah patah tulang hidung dan bonyok-bonyok.

 

Jadi, bagaimana menghadapi bapak Munarman sang preman intelek itu, mengingat dia sudah tahu amunisi apa saja yang kita pegang? Bagi orang seperti Munarman yang hapal retorika HAM dan hukum, dan senang mementahkannya lagi, para pejuang HAM adalah lawan tanding yang sepele. Dialog dengannya pun menjadi debat kusir, dan ketika waktu habis, hasilnya pasti 1-0 untuk kemenangan fanatisme agama, dan nol untuk kebebasan sipil. Bagi orang-orang yang berpikiran cupat, orasi dan seruan-seruan kebencian dari Munarman bagaikan lagu terindah di telinga mereka. Apalagi ketika orang-orang cupat itu lapar dan pengangguran, dan dipersenjatai dengan bambu dan celurit. Takbir “Allahu Akbar” yang maknanya sakral berubah menjadi semangat penindasan sesama manusia lewat mulut Munarman dan para pengikutnya. Maka itu, seperti anggota DPR yang membuat peraturan yang “Ujung-Ujungnya Duit”, retorika Munarman pasti “Ujung-Ujungnya Kekerasan”. Jadi, saran saya, hentikan debat kusir dengannya, karena tidak ada gunanya. Tidak usah capek-capek brainwash dia untuk kembali percaya pada HAM, karena dia toch memang sudah menutup diri terhadap kedamaian. Sekarang, biarkan hukum yang memanggil sang buron untuk segera datang ke Polda Metro Jaya. Kalau dia tidak mau disebut pengecut, kita tunggu saja dia untuk menyerahkan dirinya, dan tugas kita sekarang adalah merawat luka-luka di tubuh dan batin orang-orang yang menjadi korban kebuntuan pikirannya.

 

Kamis, 5 Juni 2008


No comments:

Post a Comment