“Untuk sebuah masyarakat yang terbuka, negara yang lemah sama berbahayanya dengan negara yang otoriter.”
-Dirk Verhofstadt (pemikir liberal dari Belgia
Ada banyak orang yang mungkin berkata, kita tidak akan pernah bisa bebas dari penjajahan bangsa asing. Setelah dijajah Belanda dan Jepang, sekarang orang menggembar-gemborkan betapa dunia Barat yang diwakili Amerika Serikat telah menaklukkan seluruh dunia termasuk Indonesia. Lewat budaya populer, gaya hidup ‘McDonald’, kapitalisme, dan pasar bebas-nya, Barat seakan-akan menawarkan kita sebuah dunia yang mau tidak mau harus kita jalani. Coba tanya, siapa yang seumur hidupnya tidak pernah menggunakan celana jeans, misalnya. Contoh lain, perempuan mana yang hari-hari ini tidak pernah menggunakan celana dalam dan beha, kecuali beberapa suku di pedalaman? Asal kita tahu, pakaian tradisional kita tidak mengenal pakaian dalam seperti yang kita kenal sekarang. Semua itu adalah gambaran bagaimana bumi ini seolah-olah milik dunia Barat. Banyak orang juga mungkin sudah lama menjadikan Amerika Serikat sebagai musuh mereka, sejak Presiden Bush yunior meneruskan amanat bapaknya, Presiden Bush senior, untuk menghidupkan kembali perang di Timur Tengah. Tak heran, muncul banyak gerakan perlawanan dan gaya hidup alternatif untuk mengimbangi kekuatan Barat tersebut. Gerakan Islamis, demonstrasi-demonstrasi anti perdagangan bebas, anti WTO, IMF, dan sebagainya, dengan keyakinan masing-masing berusaha untuk menghancurkan ‘setan’ Barat.
Tapi sebentar, kenapa kita akhir-akhir ini terlalu suntuk dan ribut, takut bahkan paranoid kalau-kalau orang-orang di belahan bumi yang lain itu akan segera menghancurkan negeri ini dan menebarkan kejahatan mereka. Kita menghabiskan waktu untuk memikirkan kira-kira hal apa lagi yang akan mereka perbuat terhadap kita. Tak disadari, kita seringkali lalai untuk melihat, bagaimana sebenarnya selama ini kita justru diracuni dan dijajah oleh sesama bangsa sendiri. Contoh sederhana: Mayoritas dari kita mungkin masih takut dan no comment mendengar kata PKI atau sesuatu yang berbau komunis, sosialis, radikalisme, revolusi, dan semacamnya. Ini sudah tentu adalah hasil indoktrinasi Orde Baru dan rezim Soeharto selama puluhan tahun, bahkan setelah Soeharto lengser dan ‘gak bisa apa-apa lagi. Bahkan setelah Gus Dur ketika menjadi presiden keempat telah mencabut peraturan yang melarang peredaran Marxisme. Kejadian yang paling aktual adalah bentroknya orang-orang yang gemar menyebut diri mereka sebagai pembela Islam melawan orang-orang dari partai baru, Papernas, yang adalah hibrid dari PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang dari dulu selalu disebut-sebut sebagai bentuk PKI gaya baru. Betapa sulitnya menghapus ajaran Orde Baru yang telah ngelotok lama di otak kita walaupun telah banyak hasil penelitian yang mengungkapkan dusta Soeharto di balik peristiwa ’65.
Lucunya, bukan hanya komunisme yang ditakuti masyarakat kita. Akhir-akhir ini juga ada istilah yang juga membuat banyak orang bergidik: Liberalisme. Jangankan mendengar nama Jaringan Islam Liberal, beberapa orang yang berniat bikin Partai Liberal pun pasti akan langsung dirempug. Padahal, di setiap negara yang telah merasakan indahnya hidup berdemokrasi, yaitu bebas bersuara, bebas berpendapat, bebas berpikir dan berserikat, selalu ada partai-partai liberal dengan beragam nama dan keberadaan mereka sudah menjadi keniscayaan. Bahkan di negara yang paling liberal pun, ada partai sosialis yang masih memegang teguh ajaran Marxisme, serta partai-partai buruh yang erat dengan semangat sosialisme. Lalu, mengapa orang di sini bisa takut terhadap ‘-isme’ yang satu itu? Gampang saja, karena orang tidak tahu, maka orang takut. Orang tidak tahu, bahwa apa yang bisa membuat mereka bisa mengadakan reformasi pada tahun 1998, melengserkan Soeharto, berpemilu dan memilih wakil rakyat dan presiden dengan bebas, adalah liberalisme. Orang tidak tahu, bahwa apa yang bisa membuat kita dengan bebas bersekolah, bekerja, berdagang, berpendapat, memilih gaya hidup, memilih agama, adalah liberalisme. Bahkan kelompok-kelompok yang berpandangan ekstrem juga dimungkinkan hidup di dalam dunia yang liberal. Di dalam liberalisme, kita bersepakat untuk tidak sepakat. Dan itu sah-sah saja.
Beberapa orang mungkin banyak yang berpandangan serupa. Kita menghendaki sebuah masyarakat yang terbuka, yang mandiri dan kuat, sehingga mampu mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa Barat, seperti yang dilakukan Jepang yang pada akhirnya memilih membuka pintu lebar-lebar terhadap kebudayaan dan teknologi asing. Tetapi melihat konteks Indonesia, kita ragu akan satu hal: Mampukah kita? Rasanya mimpi saja untuk mencapai cita-cita itu, jika melihat keadaan bangsa ini yang benar-benar terpuruk. Bayangkan, di antara negara-negara Asia Tenggara, cuma kita saja yang belum bisa keluar dari krisis ekonomi dan moneter yang melanda kawasan ASEAN di akhir abad ke-20. Thailand, dengan caranya sendiri, sudah bangkit sejak lama, dan sekarang mulai mengejar Singapura yang sudah masuk jajaran negara-negara terkaya di dunia.
Stop, tidakkah kita bosan selalu melemparkan kesalahan kepada perdagangan bebas, IMF, Freeport, Exxon, dan kantor-kantor orang bule itu? Kenapa kita selalu menjadi bangsa yang cengeng, seperti anak kecil yang menangis ketika mainannya direbut orang? Tunjuk diri sendiri, makanya diciptakan istilah introspeksi. Kita itu bangsa munafik yang menyalahkan orang lain sementara diri sendiri melakukan korupsi. Kita tercatat sebagai satu di antara negara-negara terkorup di dunia, persis di bawah kita adalah Filipina. Pesimis rasanya untuk memberantas korupsi di sini, karena memang sudah benar-benar menjadi budaya dan tradisi kita sehari-hari. Dari pejabat tinggi negara sampai tukang becak pun korupsi. Coba saja, kelurahan mana yang tidak harus bayar kalau kita mau bikin KTP? Minimal kita harus mengeluarkan selembar 20 ribuan (itu pun kurang) dan menunggu seminggu sampai KTP selesai. Masih jutaan contoh lainnya jika ingin mengetahui seberapa korup bangsa kita, karena saya, Anda, kita semua pernah melakukan korupsi dalam bermacam-macam bentuk. Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa wajar saja kita korupsi karena kita miskin, karena kalau kita jujur maka kita tidak bisa makan nasi. Memang ironis, itu seperti perdebatan filsafat jaman dulu di antara para filsuf: ‘Mana yang duluan muncul, ayam atau telur?’ Sampai sekarang itu belum bisa terjawab. Orang pun mungkin juga tidak bisa menjawab, mana yang muncul pertama kali: Kemiskinan atau Korupsi? Apakah kemiskinan yang akhirnya membuat kita korupsi? Atau korupsi-kah yang membuat kita miskin? Kita akan tampak bodoh jika terus berkutat di lingkaran setan itu, karena kita tidak akan menemukan jawabannya di situ.
Liberalisme: kebebasan yang bertanggung jawab
Kita harus mengakui bahwa negara ini memang sudah hancur. Beberapa orang meramalkan bahwa tidak lama lagi kita akan bangkrut dan Amerika akan membeli kita. Adanya proyek PBB yang baru, yaitu MDG atau Millenium Development Goals, yang harus dikejar setiap negara dunia ketiga sampai tahun 2015, membuat kita semakin merasa mampus dengan kehancuran di sana-sini. Kadang-kadang dunia internasional memang membuat kita jengkel karena mereka memang tidak tahu apa rasanya makan nasi aking dan bagaimana nasib orang yang tiap hari upahnya cuma lima ribu perak. Sementara itu, di kota yang sama, bahkan masih satu kecamatan, orang bisa tinggal di kondominium mewah, naik Jaguar, dan tiap bulan shopping ke Paris atau New York. Orang merasa dilahirkan dalam keluarga yang salah: ‘Kenapa papa tidak bisa membelikanku barang-barang yang ada di tivi itu?’ Kita ini memang ironis. Daya beli rendah, tetapi konsumerisme termasuk yang tertinggi, bahkan sampai melebihi masyarakat Barat sendiri. Turis-turis Indonesia digosipi di butik-butik kota Paris karena selalu ingin membeli merk yang terkeren dan termahal, sementara di New York, toko-toko yang sedang banting harga habis-habisan atau big sale adalah toko yang paling padat pengunjungnya. Semua orang mengantri dari subuh sebelum toko buka hanya untuk mendapatkan pakaian yang paling murah yang bisa didapat, sementara mereka berdesak-desakan dengan orang lain.
Ekonomi bebas seperti itu memang wajar dalam liberalisme. Tetapi jurang antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia adalah sesuatu yang kelewat batas. Dalam beberapa hal kita memang berbeda dengan negara-negara Barat. Salah satunya adalah karena kita tidak memiliki konsep negara kesejahteraan atau welfare state. Kita tidak memiliki tunjangan sosial yang membuat para penganggur tetap bisa dapat uang bulanan walau belum memiliki pekerjaan. Sejak berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Rusia (dulu Uni Soviet), perdagangan bebas menarik jutaan migran dari negara-negara miskin untuk mengadu nasib di Amerika Serikat dan negara-negara makmur di benua Eropa. Alasan mereka meninggalkan kampung halaman adalah karena welfare state tersebut, yang membuat mereka berani datang walaupun tidak memiliki pekerjaan. Tetapi karena sudah overloaded, banyak negara Barat yang mulai membatasi masuknya imigran, selain karena alasan terorisme.
Kita sendiri, di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, mencoba meniru welfare state, dan memberikan Rp.300.000 per bulan kepada setiap keluarga miskin di seluruh Indonesia. Tetapi proyek ini tidak berjalan lancar, selain karena uang sejumlah itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga selama sebulan, sepertinya juga negara kita kehabisan dana subsidi tersebut. Kemungkinan lain adalah karena kita hidup dengan para pejabat negara yang sudah hidup dengan tradisi korupsi, maka bisa saja dana subsidi tersebut juga ikut dikorupsi. Kita tidak akan pernah mampu bergaya ala Eropa dengan menjadi welfare state, selama korupsi masih ada. Selama setiap orang tidak bertanggung jawab dengan uang negara. Betapa sungguh gila, jika kita melihat di televisi, bahwa dana tiga ratus ribu tersebut masih saja dipotong oleh petugas, sehingga jumlah yang sampai ke tangan penerima bantuan hanya Rp.100.000 saja!
Itulah kebobrokan moral kita. Moralitas kita hancur karena korupsi, bukan karena goyangan pantat seorang penyanyi dangdut dari kampung yang susah payah cari rezeki. Moralitas kita hancur karena para pelayan negara yang tidak bertanggung jawab, bukan karena sebuah majalah berlogo kelinci berdasi yang isinya benar-benar sudah disesuaikan dengan konteks budaya Timur di Indonesia. Kita menginginkan kebebasan yang adalah hak kita, tetapi kita tidak mau membayar kewajiban kita, yaitu tanggung jawab. Siapa pun boleh jadi pejabat, jadi anggota DPR. Apakah dia keluaran ilmu pemerintahan atau bahkan seorang artis sinetron, tidak ada orang yang melarang. Tetapi kita lack of responsibility. Tidak puas hanya dengan korupsi, mereka pun menaikkan gaji mereka sendiri, dengan jumlah gaji per anggota DPR yang bisa memberi makan ribuan keluarga di negeri ini. Orang-orang berlomba menjadi kader partai, supaya suatu hari nanti bisa duduk di parlemen, tidur saat sidang, ngobrol, SMS-an, dan pulang ke rumah tanpa membuat suatu kebijakan yang benar-benar krusial untuk bangsa ini. Bagaimana pegawai negeri kita tidak bertanggung jawab, wong yang diajarkan di institut yang melahirkan mereka adalah bogem mentah dan tendangan-tendangan, bukannya ilmu bagaimana mensejahterakan rakyat. Itulah yang membuat mereka menjadi kejam terhadap sesama bangsa sendiri.
Tanggung jawab terhadap rakyat tidak dimiliki oleh para petinggi negara ini karena mereka memang tidak tahu apa arti kata ‘susah’. Menurut Prof. Dr. H.M. Roem Rowi, MA, yang pernah bekerja di Belanda selama kuliahnya di Mesir sedang libur, melihat perbedaan mentalitas Eropa yang kemudian melahirkan tanggung jawab kepada masyarakat. Mengapa pemimpin-pemimpin Eropa berhasil memakmurkan rakyatnya, karena mereka sendiri pernah mengalami sendiri kesusahan rakyat. Roem pernah bertemu dengan seorang mahasiswa Belanda yang bekerja sambilan sebagai tukang sapu jalan. Ternyata mahasiswa tersebut adalah anak seorang pejabat negeri Belanda. Ketika Roem bertanya, kenapa mau kerja jadi tukang sapu, apa tidak malu, mahasiswa itu menjawab dengan tegas: “tidak, kami di Eropa, malu kalau tidak mau kerja atau tidak bekerja. Kerja apa pun kami mau.” Roem tersentak, karena di Indonesia, orang sangat menjaga gengsi. Sementara di Belanda, orang hidup dari hasil keringat sendiri tanpa pertimbangan gengsi.
Pendidikan mental dan tanggung jawab bagi anak Eropa sangat penting, karena lewat pekerjaan berat dan sulit, menguras tenaga, mereka jadi bisa merasakan susahnya penderitaan rakyat. Setelah mereka menjadi pemimpin, mereka ingat akan penderitaan tersebut, maka itu orientasi mereka menjadi pemimpin adalah untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk isi perut sendiri. Sayangnya, di Indonesia tidak ada budaya seperti ini. Selain itu, pendidikan kita kualitasnya rendah, sementara setiap orang tua ingin anak mereka punya gelar mentereng. Muncullah universitas-universitas dan sekolah tinggi yang tidak jelas mutunya, entah dapat akreditasi dari mana, hanya untuk mengeruk uang orang tua walaupun hasilnya akan sama-sama saja: Cari kerja itu susah. Jumlah lapangan pekerjaan dan jumlah penganggur tidak sebanding. Sementara itu, pemerintah yang duduk di menara gading sana, bukannya mencari alternatif untuk memperbanyak lapangan kerja, malah membikin rancangan undang-undang yang benar-benar tidak penting: RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Rupanya pemerintah lebih khawatir tentang cara kita berpakaian ketimbang kesusahan rakyat untuk mencari makan dan bencana alam di mana-mana.
Negara Harus Melindungi Hak-Hak Rakyatnya
Alam demokrasi sebenarnya masih jauh dari kehidupan bangsa kita. Reformasi memang sudah dijalankan, tetapi itu hanya sebuah nama dan beberapa basa-basi di sana-sini. Sementara itu, kultur kebebasan berpendapat tanpa rasa takut dan dilindungi hukum, tidak ada. Lihatlah bagaimana orang dengan gampangnya membakar, melempari, merusak rumah orang-orang pengikut Ahmadiyah. Lihatlah bagaimana orang-orang berlatar belakang preman dan pengangguran memakai kedok agama Islam untuk melakukan kekerasan dan menghalalkan darah orang lain. Lihatlah bagaimana para pekerja seks komersial dan kaum waria dikejar-kejar Satpol Pamong Praja setiap malam, padahal mereka mencari sesuap nasi, sedangkan para germo yang sudah jelas menadah uang justru tidak pernah dihukum. Padahal Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta di tahun ’70-an, memiliki alasan rasional untuk mempertahankan lokalisasi agar tidak ada perdagangan PSK secara gelap. Tetapi pemerintah yang memang tidak peka jender, menganggap para perempuan yang diperdagangkan adalah para pelaku kejahatan, bukannya korban. Jangankan PSK, kultur orang tua kita sendiri pun masih menganggap anak perempuan sebagai anak “nomor dua”, yang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti larinya ke dapur-sumur-kasur juga. Padahal perempuan juga adalah warga negara yang setara dengan laki-laki. Ingat kata-kata Lenin: “Rusia tidak akan pernah ada, jika perempuan Rusia tidak ikut bekerja bersama laki-laki Rusia.”
Inilah bangsa kita. Kapan kita akan bangkit dari keterpurukan, sepertinya tidak perlu dijawab. Yang perlu dijawab adalah pertanyaan bagaimana kita akan bangkit. Dengan cara apa, untuk keluar dari limbah dosa korupsi dan ketiadaan tanggung jawab pemerintah kita. Sementara itu, masyarakat kita masih jauh dari keterbukaan dan belum siap menjadi mandiri. Kita selalu menyalahkan Barat, sementara itu kita masih mengatakan bahwa tradisi kita di Timur adalah yang terbaik dan terluhur, tidak bejat seperti Barat. Kita menganggap tradisi kita yang benar adalah ‘Asal Bapak Senang’, bukannya bekerja keras membanting tulang. Jika Anda masih mengagung-agungkan tradisi Timur, cernalah kata-kata Amin Malouf, seorang penulis Perancis berdarah Mesir: “Tradisi memang harus dihormati, tetapi hanya sejauh tradisi itu dapat dihormati.”
13 April 2008
No comments:
Post a Comment