Chicklit adalah sebuah fenomena dalam sastra (atau dunia penulisan atau literatur). Dalam bahasa Inggris, kata literature berarti segala bentuk tulisan seni (fiksi, drama, puisi), sehingga Chicklit (baik itu novel maupun cerpen) bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk karya sastra juga, dan tidak berada dalam posisi di luar kesusastraan.
Kenapa Chicklit dianggap karya sampah?
Banyak orang (termasuk para sastrawan dan dewa-dewa sastra) di Indonesia masih menerjemahkan dan menafsirkan kata ‘sastra’ sebagai ‘kitab suci’ seperti yang diterjemahkan di dalam kamus W.J.S Poerwadarminta. Sastra, oleh orang-orang yang menganut paham romantisisme, dianggap sebagai ‘jalan menuju kebenaran’. Menurut mereka, sastra haruslah membawa pesan moral dan akhlak untuk membangun bangsa. Selain itu, sastra juga pernah (dan mungkin sampai saat ini) oleh banyak orang dilakukan atas dasar ‘seni untuk seni’ (l’art pour l’art), sehingga sastra ditulis hanya untuk dunia sastra sendiri dan bukan untuk masyarakat awam.
Dengan kata lain, khalayak sastra di Indonesia pada umumnya masih menganggap bahwa suatu karya bisa disebut sebagai ‘karya sastra’ jika karya tersebut memenuhi standar konvensi yang berlaku atau ‘telah ditetapkan’ sebelumnya. Konvensi ini disebut ‘kanon’. Bagaimana karya-karya sastra bisa masuk dalam kanon sastra
Hasil karya itu kemudian dilempar ke pembaca, dan para pembaca melakukan proses pembacaan dengan alam pikir dan pengalamannya masing-masing. Di antara para pembaca sastra, terdapat suatu kelompok yang kedudukannya sangat menentukan arah perkembangan konvensi (peraturan) dan inovasi (pembaharuan) sastra dalam masyarakat, yaitu para kritikus sastra (atau sering disebut ‘para ahli sastra’).
MASALAHNYA: Kegiatan kritik sastra yang dilakukan oleh kebanyakan kritikus sastra di negeri ini direduksi atau dipersempit menjadi sebuah kegiatan untuk ‘menilai baik-buruknya sebuah karya sastra’—seperti yang diajarkan oleh banyak dosen sastra.
Sebenarnya ini sangat disayangkan, karena kita semua (baik yang belajar sastra ataupun yang tidak) dalam pendidikan sastra di negeri ini telah dipermak untuk berpikir sempit, tidak pernah memikirkan kenapa karya sastra yang itu dianggap ‘baik’ dan karya sastra yang ini dianggap ‘buruk’. Dan apa sih ‘baik’ dan ‘buruk’ itu? mengapa suatu hal bisa dikatakan ‘baik’ dan yang lainnya dicap ‘buruk’? pertanyaan-pertanyaan ini seakan tidak berani ditanyakan oleh anak sekolahan sekalipun yang diperkenalkan kepada sastra
Karya sastra yang dianggap ‘baik’ oleh para dewa sastra (maksudnya kritikus sastra Indonesia yang sok-sok menjadi ‘pengawal sastra’) dimasukkan dalam ‘kanon sastra Indonesia’ dan nama-nama penulisnya tercatat dalam sejarah dan periodisasi sastra Indonesia. Sedangkan karya sastra yang dianggap ‘buruk’ tidak dimasukkan dalam kanon, tidak tercatat dalam sejarah, sehingga dosen sastra Indonesia akan mempertanyakan mahasiswa yang mau mengangkat karya penulis yang dianggap ‘tidak terkenal’ dalam skripsinya: “Emangnya siapa dia? Emangnya karyanya terkenal gitu?” Mahasiswa pun mengalah dan mengikuti kanon.
Contoh penulis-penulis yang masuk dalam kanon tersebut misalnya Marah Rusli, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Chairil Anwar, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Utuy T.S., dll, pokoknya yang ‘disegani’ karena karya-karyanya dianggap mewakili ‘inilah sastra Indonesia yang sebenarnya’ dan yang tidak menulis seperti mereka akan dicap ‘bukan sastra Indonesia’—parahnya lagi: ‘bukan sastra’. Jadi apa dong? Kejam amat?
Sebagai perbandingan, di sastra Inggris, penulis-penulis yang masuk dalam kanon sastra Inggris contohnya adalah William Shakespeare, D.H.Lawrence, Henry James, Thackeray, Wordsworth, Charles Dickens, Mark Twain, Walt Whitman, Geoffrey Chaucer, John Milton, Daniel Defoe, Rudyard Kipling, dll. Mereka dianggap ‘pahlawan-pahlawan Inggris’ dan beberapa diantaranya dianugerahi gelar kebangsawanan ‘Sir’ atau ’Tuan’ oleh ratu Inggris karena dianggap berjasa dalam mengembangkan kebudayaan anglo saxon (Inggris). Tetapi, masalah kanon-kanon yang ada dalam sastra
Nah, masalah yang sebenarnya dalam hubungan chicklit dengan kebudayaan kanonik ini adalah bagaimana para dewa sastra
Seminar Sastra Kota tersebut dibales dengan Seminar Seks Teks Konteks (STK) yang diadain Sastra Inggris Unpad bareng Kelompok Belajar Nalar. Perang wacana yang sebelumnya terjadi di koran, berlanjut di seminar-seminar. STK ngebales DKJ dengan cara membela Ayu cs.habis-habisan justru dengan memunculkan wacana seksualitas yang ditunjang dengan pemikiran feminis, posmodernis, poskolonial, dan teori-teori kontemporer lainnya yang selama ini memang dipinggirkan oleh geng DKJ. Pokoknya, perang tersebut berlangsung seru dan sekarang-sekarang, kita lihat, justru isu ini agak memudar dengan sendirinya dan penilaian akhir kembali pada pelaku sastra (penulis, pembaca, kritikus) sendiri. Semuanya tampak bubar jalan.
Nah…ternyata polemik berganti menjadi ‘apakah chicklit bisa disebut karya sastra juga’. Sekarang para dewa sastra yang tampak kurang kerjaan tersebut mengganti lawan perang mereka dari Ayu cs.menjadi geng chicklit. Bagaikan Amerika yang dengan seenak perutnya mengganti musuh mereka dari Rusia menjadi Irak, para dewa sastra DKJ kini menyorot chicklit sebagai musuh baru. Karya-karya chicklit dianggap bukan karya sastra dan dianggap sebagai karya murahan layaknya sampah yang bisa dibuang begitu saja.
Melihat isu chicklit ini dengan kerangka yang terlepas dari feminisme sebenarnya bisa saja. Sebagai hasil ungkapan ekspresi seseorang, chicklit tetap harus diakui keberadaannya. Kenapa chicklit dianggap bukan karya sastra karena pola penulisan serta motivasi yang menjadi dasar penulisannya berbeda dengan konvensi sastra pada umumnya. Chicklit disebut sebagai karya yang dasarnya lebih popular dibanding karya sastra umumnya. Popular berarti ‘bersifat memasyarakat atau umum’. Bisa dibandingkan dengan kata ‘populis’ yang artinya ‘merakyat’. Jadi memang ada hubungannya dengan masyarakat kebanyakan atau ‘kebudayaan pada umumnya’, dalam hal ini
Bukan hanya dari faktor bahasa, tetapi juga masalah motivasi penulisan chicklit itu sendiri. Penulis chicklit pada awalnya memang mempunyai motivasi untuk menulis dengan cara yang ‘biasa’ dan mudah diterima oleh masyarakat awam. Sehingga ia sejak awal sudah menargetkan bagaimana ia akan menulis, siapa yang akan membaca, dan bagaimana karyanya akan dipahami dan diinterpretasi oleh orang banyak. Mungkin saja penulis chicklit memang ingin menulis dengan bebas tanpa nantinya akan kena label ‘chicklit’, ‘bukan sastra’, atau label-label lainnya. Yang penting bagi penulis chicklit adalah masalah kemauan untuk menulis dan kreativitasnya. Mereka sebenarnya tidak punya masalah dengan label ‘apakah saya nantinya bisa dianggap sebagai sastrawan’ atau tidak. Cara-cara yang dilakukan penulis chicklit untuk menampilkan sesuatu yang populer dan mengangkat pengalaman yang sangat-sangat umum (dan bisa terjadi pada semua orang), tampak pada tema cerita. Selain itu, bahasa yang dipakai juga adalah bahasa sehari-hari yang terjadi di masyarakat (terutama kalangan muda), dengan kata lain, bahasanya adalah bahasa yang familiar. Sehingga chicklit memang mendobrak formalisme Rusia, bahwa sastra memiliki bahasa yang tidak familiar, berbeda dengan bahasa yang dipakai sehari-hari. Kata-kata pergaulan seperti ‘gue’, ‘elo’, ‘so what gitu lho’, ‘gue banget’, dll sangat cukup untuk mendobrak tabu dalam bahasa Indonesia yang selama ini dianggap harus ‘dipraktekkan secara benar dan baku’. Dewa sastra menyayangkan hal ini, karena bahkan dari segi bahasa pun, chicklit dianggap membelot dari konvensi yang telah ditentukan, apa lagi dari segi-segi lain. Makanya, dengan mudah chicklit dianggap ‘bukan sastra’ karena telah ‘menyimpang’ dari konvensi, regulasi, aturan, norma-norma, yang dipakai untuk menentukan suatu karya dapat disebut ‘nyastra’.
Padahal, jika kita kembali lagi pada dasar bahwa literatur atau sastra adalah segala bentuk tulisan fiksi, sebenarnya gak ada masalah untuk mengatakan bahwa chicklit juga adalah karya sastra, walau bahasanya gak
Bantahan Terhadap Chicklit oleh Para Feminis
Ternyata, bukan hanya para dewa sastra yang mengkritik chicklit. Tapi dari sisi lain juga ada yang banyak menyerang, yaitu para feminis. Menurut feminis, chicklit itu walaupun ditulis oleh perempuan, tentang perempuan, dan umumnya lebih banyak dibaca perempuan, tapi tetap saja tidak berniat untuk menentang patriarki sama sekali. Chicklit bukanlah pemberontakan perempuan terhadap penindasan yang dilakukan patriarki, karena penulisan perempuan yang dilakukan tidak berada dalam kerangka feminisme. Memang sudah ada rambu-rambu sebelumnya, bahwa walau si perempuan menulis, belum tentu ia sebenarnya melawan patriarki. Tapi, bisa jadi tulisannya malah mendukung patriarki—yang seharusnya dilawannya. Masalahnya, bahasa dan strategi menulis yang dipakai penulis chicklit masih berada dalam frame patriarkis dan ‘tidak peka’ terhadap bagaimana perempuan selama ini dianggap sebagai The Other/Liyan/Yang Lain oleh masyarakat yang patriarkis.
Feminis juga mengkritik bahwa chicklit itu tidak feminis, tetapi justru membawa pesan ‘girl power’. Dan ‘girl power’, yang awalnya memang diciptakan oleh grup Spice Girls (terutama Geri Halliwel/Ginger Spice), adalah konsep yang sebenarnya berani ngomongin keperempuanan dan seksualitas tanpa harus ngomongin feminisme. Hal inilah yang membuat banyak orang ‘curiga’ bahwa chicklit itu adalah bentuk riil dari posfeminisme. Seperti yang disebut-sebut dalam buku Posfeminisme-nya Ann Brooks, film-film macam Sex and The City, Ally McBeal, Bridget Jones’ Diary adalah termasuk posfeminisme, karena mereka ngomongin perempuan dan seks tanpa nyangkut-pautin ke feminisme (bahkan feminisme tidak pernah disebut-sebut di dalamnya). Sama aja kasusnya dengan chicklit.
Tapi hal ini bisa dibantah lagi, karena semua bentuk feminisme pada dasarnya (apalagi feminis posmodern) menentang modernisme. Banyak aspek dari modernisme yang dikritik feminis, misalnya mengenai peran perempuan dan peran laki-laki dalam ranah domestik (keluarga) dan ranah publik (masyarakat). Sebenarnya modernisme itu bagus, karena mengakui bahwa manusia adalah subjek yang otonom dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dan ini juga berlaku bagi perempuan. Tapi nilai ini kemudian dikorup oleh masyarakat yang statis, kapitalis, dan konservatif, menjadi pembenaran bagi subjek “laki-laki” untuk menjadi otonom, bebas, merdeka, tanpa menghiraukan subjek “perempuan” yang punya perbedaannya sendiri dan kesulitannya sendiri. Laki-laki kemudian mempunyai peran yang utama jika dibandingkan peran perempuan (berarti perempuan dan laki-laki tersegmentasi dalam dunia yang berbeda).
Jelas, ini hal yang masih jadi polemik atau debat tak berkesudahan di kalangan feminis. Menurut beberapa feminis, girl power sebenarnya problematis. Walau ia mengkampanyekan supaya perempuan menjadi ‘kuat’ dan tidak mau dikalahkan laki-laki, ia sebenarnya ujung-ujungnya tetep ngakuin bahwa ‘perempuan’ tetep butuh laki-laki dan mengakui bahwa laki-laki harus terus menjadi ‘partner’ perempuan (bahkan ‘penolong’ perempuan ketika tidak sanggup lagi melakukan yang berat-berat) dalam segala bidang, seperti yang dikatakan Geri Halliwel: “…it doesn’t mean you don’t need a boy.”
Feminis marxis dan sosialis mungkin akan mengkritik chicklit seperti ketika mereka menentang kapitalisme. Karena chicklit adalah karya yang populer dan diterima oleh pasar, dengan segmen remaja sebagai konsumen terbesar, maka chicklit akan dianggap sebagai proyek kapitalisasi sastra juga. Bagaimana kenyataan yang berbicara bahwa penulis chicklit bisa gampang kaya dibanding penulis karya sastra pada umumnya, membuat chicklit dalam segala hal dikritik sebagai “trend” yang tidak peka. Sudah chicklit dikritik karena tidak peka terhadap masalah sosial dan politik, ia juga dikritik sebagai bentuk kegiatan kapitalistis yang memperkaya individu-individu yang pengen cepet kaya dan ‘hasrat’nya terkekang. Chicklit dianggap sebagai tanda bahwa kini sastra pun bisa dibisnisin dan menjadi profesi yang tidak ada bedanya dengan pengusaha besar—karena nantinya si penulis chicklit juga bisa tenar.
Nah, kapitalisme sebenarnya bersalut dengan neo-konservatisme, patriarki, dan modernisme. Menurut frame of mind feminis poskolonial, penindasan yang dialami perempuan bukan hanya oleh patriarki, tapi juga kapitalisme, rasisme, kolonialisme, dan hal-hal lain yang semuanya tumpang tindih dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain karena hal-hal yang menindas tersebut saling terikat/saling berkaitan. Jadi, chicklit selain membawa pesan neo-konservatisme, juga berarti membawa pesan yang kompromi terhadap patriarki, kapitalisme, modernisme, dan kolonialisme. Seakan-akan, chicklit mau berkata: “sudah cukup lah ribut-ribut ngomongin penindasan, toh pada kenyataannya kita tetap berada dalam peran-peran yang itu-itu juga, jadi itu semua gak masalah.”
Tapi, kalo kita mau terlepas dulu dari wacana feminisme dalam memandang chicklit dan melihatnya dalam kerangka yang biasa aja, tidak terlalu ekstrim, dan ‘chicklit banget’, ya kita tetep bisa melihat chicklit sebagai sebuah fenomena dalam sastra.
Para dewa sastra DKJ yang menolak chicklit dengan dasar romantisisme akan kebudayaan kanon yang “tinggi”, dan para feminis yang menolak chicklit dengan dasar bahwa girl power berseberangan dengan feminisme, sebenarnya juga berada dalam posisi yang berlawanan meski dua kubu itu sama-sama mempertanyakan ‘kredibilitas’ chicklit. Dewa sastra DKJ sebenarnya juga orang-orang yang konservatif dan mengusung neo-konservatisme, dan melihat chicklit sebagai suatu serangan. Mereka, adalah orang-orang yang bingung, menurut saya. Kalau umumnya chicklit mengusung amanat neo-konservatisme sama seperti DKJ, lalu kenapa DKJ menolak ‘sodara sebangsanya’ itu? Lha wong sama-sama konservatif kok ribut? Tapi itu kalo melihatnya dalam kerangka feminisme dan kritisisme.
Kalo mau melihatnya dalam kerangka yang lebih bebas dan longgar, ya kita tetep harus akui keberadaan chicklit sebagai bentuk penulisan yang juga termasuk sebagai karya sastra. Jadi pernyataan pembelaan terhadap chicklit yang bisa kita putar-putar adalah: “biar gimana pun juga, chicklit itu hasil tulisan seseorang, dan semua tulisan fiksi adalah sastra, biar gimana pun bahasa atau temanya berbeda dengan sastra kebanyakan, gitu-gitu juga chicklit toh ditulis dengan dasar kreativitas dan seni, jadi ga ada alasan untuk ga menerima chicklit sebagai bagian dari khazanah sastra
Chicklit itu bisa dipandang sebagai sebuah buku yang memberikan warna-warni baru dalam ‘rak buku besar sastra Indonesia’ dan chicklit ditambahkan ke dalam rak tersebut, sehingga bukankah itu membuat sastra Indonesia semakin kaya? Masalahnya, memang kita harus mengakui bahwa sastra Indonesia memang masih prematur dan masih dalam fase yang sangat muda jika dibandingkan kesusastraan yang ada di negeri lain (sastra Inggris, misalkan, yang sejarahnya dimulai sekitar 15 abad yang lalu—jauh banget dong sama sastra Indonesia modern yang baru mulai tahun 1920-an (atau 85 tahun yang lalu), karena sebelumnya yang ada sastra Melayu, bukan ‘sastra Indonesia’ seperti yang dikenal saat ini).
Chicklit bisa dipandang sebagai suatu perbedaan yang harus dirayakan, karena jika selalu menuruti konvensi kolot, sastra
Satu hal yang saya kritik dari chicklit, dan mungkin kebanyakan dewa sastra DKJ akan setuju, yaitu soal eksplorasi pergulatan batin tokoh yang masih kurang. Saya pikir, ini bukan excuse yang bisa ditawar setiap penulis, baik chicklit maupun sastra yang lebih serius. Walaupun chicklit memang “populer” dan berkesan tidak serius, tapi pergulatan batin tokoh adalah “inti” dari drama manusia, yang menjadi pusat utama dari keseluruhan kerangka fiksi. Sex and the City, Desperate Housewives, Bridget Jones Diary memang populer, sangat “fun” dan “glamour”, tetapi kenapa mereka bisa jadi film-film yang best seller adalah juga karena mereka memiliki tingkat kedalaman yang lebih mengena dibanding film-film dewasa muda lainnya.
Terlepas dari itu, ada rasa optimis yang mungkin bisa diangkat dari kehadiran chicklit, yaitu jasanya untuk—minimal—meningkatkan lagi minat baca yang rendah dari anak-anak muda
31 Mei 2008
wah grace aku suka deh tulisannya
ReplyDeletesekalipun ga terlalu ngerti...bahasa tingkat tinggi!
hehehe :P