Wednesday, April 8, 2009

Hukum dan Liberalisme di Negeri Belanda


(Sebuah percakapan imajinatif untuk menggambarkan hukum dan liberalisme di Negeri Belanda.)

 

Grace D. Amianti (GDA): Goede morgen, Pak rechtsgeleerde (ahli hukum).


Rechtsgeleerde (RG): Goede morgen.

 

GDA: Pertanyaan pertama yang sering diajukan orang mengenai kebijakan liberal Belanda adalah, kenapa Belanda melakukan ini semua?


RG: Dasar kami melakukan ini adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar Belanda. Setiap orang di Belanda berhak diperlakukan sama dalam setiap keadaan, tidak boleh ada diskriminasi apa pun itu bentuknya. Ini adalah konsep humanisme, yang telah mengakar dalam budaya Belanda. Bagaimana setiap orang diperlakukan manusiawi dan dilindungi hukum.

 

GDA: Tapi misalnya dalam hal soft drugs, apa hubungan pasal 1 itu dengan orang yang dibebaskan untuk memakai obat bius dan narkotika? Bagaimana caranya soft drugs bisa legal di Belanda?


RG: Memang di kebanyakan negara, apalagi di Asia yang menganut pola Amerika Serikat, drug addiction itu tindak kriminal. Alasannya macam-macam, tapi kebanyakan orang berprinsip itu merusak tubuh. Tapi dari sudut pandang humanis, kalau si pengguna tidak mengganggu orang lain, itu tidak masalah. Sepanjang anda menghargai eksistensi orang lain yang tidak mau menggunakannya. Yang perlu diatur adalah peredarannya. Kalau kita melakukan jual-beli secara diam-diam, maka kita membiarkan masalah gembong mafia internasional yang berlarut-larut. Lebih baik kita terang-terangan, kalau mau pakai, silakan, mari kita lindungi, tapi jangan sampai anda memaksa orang lain untuk pakai juga, atau untuk bertukar jarum suntik. Dengan mengadakan peraturan seperti ini, kita sekaligus memberantas mafia gelap, yang melakukan jual-beli secara diam-diam dan berpotensi menularkan HIV tanpa ada kepedulian sama sekali. Prinsipnya adalah, Belanda melindungi mereka yang menggunakan narkotika, dan mereka tidak boleh dibedakan dari warga negara lainnya.

 

Ini adalah konsep ‘harm reduction’, atau reduksi kerugian/penyalahgunaan. Satu tujuan penting dari cara ini adalah memisahkan pasar ‘soft drugs’ (narkotika jenis ringan, seperti LSD, mushroom atau jamur psilocybin, dan jenis-jenis ganja/cannabis, yaitu hasis dan mariyuana) dari pasar ‘hard drugs’ (narkotika jenis berat, seperti kokain dan heroin), sehingga para pengguna soft drugs tidak beralih menggunakan hard drugs. Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan, tujuan kebijakan ini adalah untuk menghalangi munculnya pasar di kalangan kriminal. Kita ingin merebut pasar dari tangan mereka, dan melindungi para pemakai. Sebenarnya untuk kasus ganja/cannabis, sejak dahulu, masyarakat Belanda tidak menganggap itu jenis narkotika berbahaya, jadi ganja sebenarnya dianggap sama seperti tembakau, karena alamiah dan tidak dibuat dari bahan-bahan kimia.

 

Tetapi akhir-akhir ini ada pertentangan mengenai undang-undang kultivasi cannabis ini. Sebenarnya sistem pasar cannabis di Belanda diatur dengan kepemilikan pribadi si penjual yang diberi izin dan menjualnya secara eceran di kedai-kedai kopi. Dia mendapat suplai dari luar Belanda, dan hanya yang punya izin saja yang bisa mengecernya. Banyak orang berpendapat hal ini tidak menyelesaikan masalah dan malah akan menambah tingkat kejahatan—saya tidak tahu apakah memang data yang ada menunjukkan demikian. Yang jelas, mereka mengatakan bahwa lebih baik penjualan cannabis benar-benar sepenuhnya dilegalkan, sehingga orang bisa membuat kebun ganja dalam skala besar dan sistem penjualannya harus secara grosiran. Mungkin ini agar tidak berbenturan dengan hukum internasional yang masih melihat cannabis sebagai drugs terlarang. Kalau kita punya kebun atau kultivasi sendiri, kita tidak perlu menerima cannabis dari luar lagi, sehingga tidak ada yang dirugikan oleh hukum di luar hukum Belanda. Saya melihat proses ini masih terus berjalan, dan karena banyak benturan hukum terjadi, pemerintahan Kristen-konservatif yang sekarang sepertinya sengaja menantang para pendukung cannabis, lebih baik sepenuhnya dilegalkan atau sepenuhnya dilarang. Mereka jelas mencari celah agar ganja bisa sepenuhnya dilarang di Belanda, kalau chaos terus-terusan terjadi dalam hukum baru ini.

 

GDA: Oke, saya cukup mengerti dengan harm reduction di Belanda. Tetapi tampaknya ada jenis ‘harm reduction‘ lain di negeri ini, yaitu pelegalan prostitusi. Pihak konservatif menentang karena itu tidak bermoral, tapi ada juga yang mengkritik bahwa itu merendahkan martabat perempuan/manusia?


RG: Kita harus kembalikan pertanyaan kepada para prostitut, apakah mereka merasa direndahkan dan tidak punya harga diri? Apakah mereka merasa dipaksa? Prostitusi di Belanda adalah pekerjaan profesional yang dilindungi hukum, ada kontrak kerja yang jelas, dan majikan memberi hak-hak prostitut sebagai pekerja. Tidak ada yang memaksa dan dipaksa. Jika prostitut mau berhenti, silahkan, karena dia dianggap self-employedatau berwiraswasta. Majikan hanyalah sebagai pemberi fasilitas, yaitu tempat kerja atau bordil, dan prostitut menyewa tempat itu. Yang mau bekerja sebagai prostitut juga silahkan, asal itu memang pilihan pribadi, dan tidak ada paksaan dari siapa pun. Majikan dan prostitut sama-sama membayar pajak kepada negara. Majikan juga kalau ingin mulai suatu usaha prostitusi harus minta izin pada pemerintah setempat. Setelah izin ada, baru boleh memulai usaha dan mengadakan lowongan pekerjaan. Ini adalah situasi kerja yang biasa saja. Prostitut pun berstatus setara dengan angkatan kerja lainnya. Tapi kalau orang mau bekerja sebagai prostitut, dia harus berumur minimal 18 tahun dan kliennya minimal 16 tahun. Maka itu, seorang pengusaha yang ketahuan mempekerjakan seseorang di bawah umur 18 tahun langsung ditangkap. Di Belanda, untuk melindungi anak-anak, age of consent atau umur yang dianggap dewasa untuk melakukan hubungan seksual adalah 16 tahun. Jika dia memilih menjadi prostitut, maka dia harus berusia 18 tahun ke atas.

 

Pada 1 Oktober 2000, Belanda mencabut larangan prostitusi dan menganggapnya sebagai bentuk bisnis yang sepenuhnya legal dan berlisensi. Sejak itu juga ikatan dagang Belanda, FNV, menerima prostitut menjadi anggota mereka. Dengan melegalkan prostitusi, kita mencegah human trafficking atau perdagangan manusia, dan memberantas germo/calo prostitusi. Kalau prostitusi dilakukan diam-diam, negara tidak tahu, orang sekitar tidak tahu, polisi tidak tahu, maka korban akan tetap jadi korban, sedangkan orang yang tidak bertanggung jawab akan mengeruk keuntungan dengan cara ilegal. Dengan pengakuan bahwa prostitusi itu adalah pekerjaan biasa, maka para prostitut, apakah dia perempuan, laki-laki, atau transseksual, dilindungi hukum perburuhan dan mendapat tunjangan sosial ketika dia memutuskan berhenti bekerja. Jika dia diputuskan hubungan kerjanya (PHK) oleh majikan, maka dia berhak dapat pesangon dari majikan dan tunjangan sosial dari kantor pemerintah.

 

Mengenai kondisi-kondisi bordil, jelas majikan juga wajib memberikan suasana tempat kerja yang kondusif. Tempat harus bersih, selalu tersedia tabung pemadam api atau fire alarm. Di setiap kamar juga harus ada tombol bahaya demi keselamatan prostitut, jika klien melakukan hal-hal yang mengarah pada kekerasan atau seks yang tidak aman. Tersedia kran air bersih, air panas atau dingin, tersedia kondom, tempat bertemu klien yang jelas, dan disediakan kopi. Prostitut juga berhak untuk menolak minuman beralkohol atau drugs dari kliennya. Prostitut pun tidak boleh dipaksa melakukan cek kesehatan rutin, karena paksaan itu akan memberikan kesan bahwa prostitut pasti mengidap penyakit kelamin atau terinfeksi HIV. Polisi juga tidak boleh menyimpan daftar nama-nama prostitut karena adanya perlindungan privasi, kecuali untuk penyelidikan human trafficking. Jadi prostitusi adalah pekerjaan yang wajar, dan prostitut punya status yang sama dengan angkatan kerja lainnya di negara ini. Ini adalah cara progresif untuk melindungi warga negara supaya kita sama-sama diuntungkan. Sikap masyarakat Belanda sendiri terhadap prostitusi cenderung mendukung legalisasi dan normalisasi. Pada akhir 1990-an polling menunjukkan bahwa banyak sekali masyarakat Belanda yang sudah menolak anggapan bahwa prostitusi adalah perilaku menyimpang yang tidak dapat diterima. Lalu sebuah survey tahun 1997 menunjukkan, 73% warga Belanda menyetujui legalisasi bordil, dan 74% bilang kalau prostitusi adalah “pekerjaan yang dapat diterima”. Pada polling terakhir tahun 1999, sekitar 78% orang mengatakan bahwa prostitusi adalah pekerjaan yang sama saja seperti pekerjaan lainnya.

 

Untuk masalah-masalah prostitut, Belanda punya sejumlah organisasi atau LSM yang memperjuangkan hak-hak prostitut dan merawat prostitut penderita HIV/AIDS. Yang paling terkenal adalah De Rode Draad (The Red Thread), mereka melawan stigma-stigma yang dilekatkan pada prostitut. Ada banyak tempat dan organisasi lainnya yang memperjuangkan hak-hak prostitusi, seperti Prostitutie Informatie Centrum (PIC) di Amsterdam, Prostitutie Maatschappelijk Werk Humanitas di Rotterdam, Stichting HAP di Utrecht, SAD/Schorerstichting di Amsterdam, Foundation against Traffic in Women (STV) di Amersfoort, Gezondheidsvoorlichting Stichting SOA*aids (STD) di Amsterdam, dan lain-lain.

 

GDA: Setelah beberapa negara mengikuti jejak Belanda untuk membuka akses pernikahan sipil untuk sesama jenis, rupanya muncul kritikan baru, bahwa sebenarnya cara ini semakin mengukuhkan bahwa heteroseksual-lah yang menjadi patokan, sedangkan institusi pernikahan itu sendiri tidak dapat diganggu-gugat. Bagaimana pendapat anda?


RG: Saya hanya berargumen dari sudut pandang legal atau hukum. Saya tidak begitu tahu apakah yang namanya institusi pernikahan itu harus terus ada atau nantinya harus hilang. Untuk masa sekarang, saat ini, dengan sistem hukum yang ada, hak untuk menikah bagi kaum gay dan lesbian dan mendapat hak-hak yang sama seperti yang didapat hetero, adalah penting. Ini bukan semata-mata soal pernikahan secara letterlijk, tapi hal-hal di balik itu juga. Misalnya, jika saya dan pasangan saya sudah sah di mata negara, untuk mengurus apa pun yang berkaitan dengan kehidupan kami itu jadi mudah, karena ada akses ke hukum. Contoh yang paling mudah adalah, jika saya suatu waktu sakit keras, dan harus dirawat di rumah sakit, maka pasangan saya boleh mengurus saya, karena hukum mengakuinya sebagai keluarga saya. Kalau kami tidak diakui, dia tidak bisa mengurus saya karena dia bukan keluarga saya. Dia akan dianggap orang asing. Contoh lain, jika saya meninggal, pasangan saya berhak mengurus segalanya dan mendapat warisan saya, karena ia keluarga saya. Begitu juga dengan hal-hal lain, seperti pembayaran pajak, atau surat-surat rumah, tanah, kendaraan, asuransi, soal anak—baik secara adopsi maupun inseminasi buatan—dan lain-lain.

 

Ini adalah pembukaan akses secara legal, itu dulu yang harus kita lakukan, karena hukumnya saat ini memang begitu. Kecuali seratus tahun lagi ada perubahan radikal dalam kebudayaan, sehingga institusi pernikahan tidak ada lagi, maka substansi hukumnya pasti berubah. Dan ini bukan berarti semua homoseksual harus menikah, bukan begitu. Siapa pun dia, apakah dia homo atau hetero, pernikahan adalah pilihan. Orang bebas untuk melajang seumur hidup, orang juga bebas mau menikah.

 

Tapi ada orang yang juga ingin mengadakan perjanjian dengan pasangannya, tapi sifat resminya tidak seperti pernikahan. Untuk itu Belanda juga membuka bentuk lain dari kontrak antara dua orang, dengan hak-hak yang sama seperti pernikahan, tapi bukan pernikahan, yaitu registered partnership atau ikatan terdaftar (bahasa Belanda: gerigesteerd partnerschap). Pasangan mendaftar ke kantor catatan sipil, dan kalau suatu saat mau bercerai, tinggal lapor ke kantor itu lagi. Lalu ada bentuk perjanjian lain, yaitu persetujuan berumah tangga. Banyak orang ingin tinggal serumah dengan pasangannya—atau bahkan tidak serumah—tapi belum mau mengikat secara resmi, ya tidak apa-apa, tinggal catat saja di depan notaris. Kalau suatu saat keduanya sepakat berpisah, tinggal urus saja berkas-berkasnya. Tetapi pernikahan (marriage) punya sifat yang berbeda, kalau pasangan ingin bercerai, maka harus diselesaikan di depan pengadilan/hakim. Pada prinsipnya ini semua adalah mengenai hitam di atas putih, perjanjian atau kontrak yang dilakukan antara dua orang di depan hukum. Ini semua dilakukan agar tidak ada perkara perebutan harta, agar jelas siapa menanggung siapa, siapa yang membayar tagihan, siapa yang berhak atas apa, dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dan di Belanda ini tidak terbatas pada jenis kelamin yang berbeda.

 

GDA: Kali ini soal hak kesehatan. Belanda sudah melegalkan aborsi sejak lama dan beberapa negara sudah melakukan itu juga, meskipun perdebatan masih berjalan. Tapi soal euthanasia, sebagian besar orang pasti selalu berpendapat bahwa hal itu tidak manusiawi, walaupun itu bukan pemaksaan. Bagaimana dengan “hak untuk mati” ini?


RG: Soal-soal seperti aborsi, kontrasepsi, dan euthanasia sebenarnya berada pada tataran konsep yang sama, yaitu hak untuk mengendalikan tubuh sendiri. Humanis percaya bahwa manusia punya hak untuk menentukan dirinya sendiri, atau “self-determination”. Euthanasia jelas adalah cara yang manusiawi, karena itu adalah pilihan pribadi dari seseorang, dan hanya dia yang berhak menentukan apakah mau atau tidak. Kalau misalnya saya sakit keras, sedangkan keluarga saya miskin, tak punya uang untuk bayar obat, dan penyakit saya kemungkinannya kecil untuk sembuh, saya pasti berpikir lebih baik mati saja.

 

Memang hal ini penuh dengan konflik, karena orang ingin membunuh dirinya sendiri, bukan membunuh orang lain. Keluarga pun pasti masih punya sedikit penolakan walaupun rela jika satu anggotanya ingin disuntik mati saja. Tapi negara melindungi si orang sakit ini, dan hukum juga harus melindungi orang yang ingin mati, bukan hanya orang yang ingin hidup saja. Walaupun seseorang meragukan adanya Tuhan, tak dimungkiri pola pikir kita memang masih melihat kematian sebagai takdir, jadi ada sesuatu di luar sana yang lebih berhak mencabut nyawa kita. Tapi jika kita berpikir mengenai determinasi diri, maka sebenarnya apa pun yang kita lakukan itu sepenuhnya di tangan kita. Apakah hari ini saya mau makan atau tidak, atau besok saya mau berangkat kerja atau di rumah saja. Kematian pun adalah keputusan, jika saya mau mati, itu juga keputusan dari diri saya pribadi. Kematian pun adalah sebuah pilihan, jangan disamakan dengan kematian karena kecelakaan, yang tidak bisa kita tentukan. Tapi kematian yang berdasar atas pilihan seseorang, karena ia tidak mau merepotkan orang lain, itu harus dilindungi hukum.

 

Hal ini sama dengan aborsi atau pun kontrasepsi. Secara logis, aborsi adalah hak perempuan atas rahimnya, dan sayang sekali orang selalu lebih banyak membicarakan soal “janin”, bukan soal perempuan yang mengandung janin itu. Sudah jelas benar bahwa yang menjadi warga negara adalah si perempuan itu, sedangkan janin itu bukan manusia, bukan warga negara. Jadi hukum melindungi warga negara, melindungi perempuan untuk berkeputusan apa ia mau melahirkan atau tidak. Ini sudah jelas. Apalagi soal kontrasepsi, yang seringkali ditentang dengan alasan bahwa itu “menolak karunia Tuhan yaitu anak”. Bahwa seseorang ingin melindungi dirinya dari kehamilan yang tidak diinginkan, atau pemakaian kondom untuk mencegah penularan HIV, ini ‘kan sudah jelas bahwa menggunakan kontrasepsi lebih banyak manfaatnya. Kalau saya sedang pusing bayar tagihan, sedangkan tabungan saya menipis, adalah keputusan yang tidak rasional untuk membiarkan anak lahir di saat kita sedang kesusahan ekonomi. Orang harus memikirkan si warga negaranya dulu. Daripada ia mencuri uang untuk membeli susu dan perlengkapan bayinya, lebih baik ia memikirkan kesejahteraan dirinya dulu, ketimbang “terpaksa” membiayai kelahiran bayi yang sebenarnya tidak ia rencanakan sebelumnya. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan kitab suci, tapi berhubungan erat dengan ekonomi.

 

GDA: Saya ingin memperjelas lagi situasi di negeri Belanda, apa benar kata banyak orang bahwa, kebebasan-kebebasan ini muncul karena adanya tradisi “gedogen” (toleransi) dari masyarakat Belanda, atau apa? Soalnya, di Belanda sendiri toch masih banyak orang yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan progresif tersebut, jadi hukum tampaknya sering berlawanan dengan opini banyak orang.


RG: Situasi tersebut tentu saja akan selalu ada. Pasti akan ada orang yang bertentangan dengan pendapat orang lain, bahkan dengan hukum yang jelas-jelas sudah disahkan negara. Ini adalah dialektika kebudayaan, dan nantinya pun ada kesepakatan-kesepakatan, meskipun niscaya selalu ada pertentangan pemikiran dalam masyarakat. Yang penting adalah kita sudah punya perangkat hukumnya, ada undang-undangnya, jadi ada payung yang melindungi. Kalau peraturan tidak ada, orang akan sewenang-wenang menghukum orang lain atas dasar keyakinannya sendiri, dan tidak peduli apakah itu menyalahi hak orang lain atau tidak. Orang memang bisa mendiskriminasi, tapi kalau sudah berhadapan dengan hukum, maka hukum itulah yang menentukan apa dia bersalah atau tidak. Nah, soal apa-apa saja yang menyebabkan negara Belanda berani memberlakukan kebijakan progresif, jelas ada banyak faktor. Tapi saya setuju dengan pendapat Kees Waaldijk, rechtsgeleerde dari Universiteit Leiden, bahwa yang membedakan Belanda dengan banyak negara lainnya adalah karena, di Belanda, pemerintah menghargai kaum akademisi. Tradisi akademik kita dalam pemerintahan punya sejarah yang panjang, terutama dalam bidang hukum. Di Belanda, penelitian-penelitian akademis dan sains yang rasional didengar oleh pemerintah, dan kedua pihak ini selalu menjalin hubungan baik. Apa yang sudah didapat dari penelitian akademis, dipraktekkan oleh pemerintah, sehingga penelitian di sini ada gunanya. Kebijakan-kebijakan progresif di sini adalah hasil dari bagaimana pemerintah menerima apa yang sudah diteliti oleh para ahli hukum di dunia kampus.

 

Selain itu ada politik dengan gaya konsensus di Belanda, mungkin mirip-mirip ‘musyawarah’ kalau di Indonesia. Dulu Belanda kesusahan setiap kali mengalami bencana alam, yaitu banjir, karena negeri ini berada di bawah ketinggian air laut (“Nederland” adalah “Tanah Rendah”; Neder artinya ‘rendah’ dan Landartinya ‘tanah’). Negeri ini menghadap Laut Utara yang punya badai yang ganas setiap tahun. Tetapi hal inilah yang justru membuat rakyat Belanda menjadi bersatu. Semua orang Belanda dari berbagai latar belakang, agama, dan tradisi, tanpa memedulikan perbedaan, berusaha keras mencari cara untuk mengakali bencana tahunan itu. Mereka pun berkumpul dan akhirnya membangun apa yang sekarang disebut Delta Projects, yaitu suatu gerbang raksasa yang bisa dinaik-turunkan untuk menahan gelombang air laut. Sejak itu, Belanda terbebas dari banjir. Lalu di berbagai tempat dibangun polder-polder (kolam) buatan untuk mengatur level air, yang dapat digunakan untuk mengairi pertanian dan membagi listrik ke seluruh wilayah negeri, dan itu dibantu dengan teknologi kincir angin dan kincir air. Untuk mengurus semua itu, Belanda punya kementerian khusus yaitu Kementerian Transportasi, Pekerjaan Umum, dan Manajemen Air (bahasa Belanda: Ministerie van Verkeer en Waterstaat). Nah, dari urusan air inilah kita menyebut politik Belanda itu “politik polder”, yang mampu mengumpulkan beragam orang dan pemikiran untuk satu tujuan. Maka itu di Belanda tidak pernah ada satu partai yang menang dengan suara penuh. Setiap pemilu, partai-partai harus berkoalisi di parlemen. Koalisi ini seringkali terdiri dari partai-partai yang pada dasarnya bertentangan, tetapi daripada memikirkan perbedaan, lebih baik memikirkan apa-apa saja yang sama. Contoh yang seringkali terjadi adalah koalisi antara partai liberal dengan partai Kristen. Meskipun secara konseptual mereka bertolak belakang, tetapi mereka bersetuju untuk mengurus hal-hal yang dianggap sepemikiran atau sejalan. Partai liberal boleh saja tidak setuju dengan kepercayaan Kristiani, dan partai Kristen boleh saja tidak setuju dengan liberalisme, tetapi soal-soal seperti peningkatan kualitas pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dana askes, perawatan kaum manula, dan pelestarian lingkungan hidup sama-sama didukung oleh kedua partai itu. Maka itu, walau pemerintahan sekarang (pemilu 2002 dan 2006) dipimpin oleh partai Kristen, mereka tetap harus bisa bekerjasama dengan partai-partai liberal, buruh, maupun sosialis. Ketika pernikahan sesama jenis dilegalkan di Belanda pada 1 April 2001, partai Kristen CDA yang menang pada pemilu 2002 tidak bisa menolak hukum baru tersebut, apalagi akhirnya mereka memilih berkoalisi dengan partai D66, yang di koalisi sebelumnya berhasil menggolkan pernikahan sesama jenis. Dengan konsensus, toch hal-hal yang bertentangan bisa dikesampingkan demi suatu kebaikan.

 

Soal tradisi “gedogen”, itu adalah anak dari humanisme itu sendiri. Belanda memang punya akar Kalvinis yang kuat. Tapi Kalvinisme pun adalah hasil dari pencerahan (aufklarung), sebentuk penolakan terhadap Katolikisme yang kolot. Bersama Lutheran di Jerman dan Anabaptis di Swiss, Kalvinisme Belanda membangun aliran Protestan yang mula-mula di Eropa. Mereka ‘protes’ terhadap kekuasaan Paus dan Vatikan yang absolut, dan merebut kembali hak rakyat biasa untuk menginterpretasi Alkitab tanpa harus repot-repot belajar bahasa Latin dan menjadi pastor dulu. Titik ini sangat penting, karena saat itulah mesin cetak pertama kali diciptakan oleh Gutenberg, sehingga kitab suci bisa disebarluaskan pada khalayak ramai dan bebas dari monopoli atau manipulasi para imam. Meskipun Kalvinisme ini juga kolot dan ortodoks, tapi ada beberapa kaum Protestan sempalannya yang memang berprinsip bebas dalam menginterpretasikan kitab suci, contohnya kaum Remonstran. Nilai-nilai humanisme yang juga merembes ke dalam pemikiran agama ini adalah semacam cermin ganda. Di satu sisi, orang berpendirian keras di sini dalam hal agama dan tradisi ortodoks, tapi di sisi lain orang menoleransi karena adanya tradisi pencerahan yang humanis. Orang di sini, ketimbang benar-benar melarang, justru lebih memilih “to gedoog it”. Gedogen itu sendiri ‘kan memang istilah bahasa Belanda yang susah diterjemahkan ke bahasa lain, bahkan bukan sekedar “toleransi”. Kalau boleh saya berpendapat, gedogen itu mirip dengan agnostisme, yaitu suatu ketidakpastian apakah tuhan ada atau tidak, dan orang agnostis tidak ambil pusing soal eksistensi tuhan tersebut. Gedogen adalah “budaya ketidakpastian” itu, jadi orang tidak yakin, apa iya harus dilarang? Tapi kalau dibiarkan saja bagaimana? Ya sudah mari kita gedoog saja.

 

GDA: Itu bisa dipikirkan dengan matang oleh orang yang memang pada dasarnya berpendirian liberal dan demokratis. Tapi rupanya hal-hal seperti itu mentah saja di mata orang yang berpendirian keras dan ortodoks, misalnya sebagian etnis Muslim Turki dan Maroko di Belanda yang tidak setuju berintegrasi dengan kebudayaan Belanda yang seperti itu. Mereka ini sebenarnya satu pandangan ‘kan, dengan kalangan Kristen Belanda yang ortodoks?


RG: Jelas, walau agama mereka berbeda, tapi mereka punya satu konviksi serupa, bahwa hukum negara harus mengikuti hukum tuhan. Tapi ini jelas ditolak oleh kaum humanis, karena hukum agama kalau dipraktekkan secara letterlijk pasti sudah ketinggalan zaman. Misalnya, apa anda benar-benar tega melempari dengan batu terhadap seorang yang kedapatan berzinah? Atau apakah anda percaya bahwa sekelompok gay yang berkumpul akan terkena murka tuhan dan tiba-tiba jatuh api dari langit membakar mereka, seperti yang diulang-ulang terus dalam cerita Sodom dan Gomorah?

 

Humanisme menegaskan pemisahan antara gereja dan negara. Memang, beberapa kalangan Kristen yang demokratis juga setuju hal itu, dan mereka pada dasarnya cukup sekuler. Tapi kebijakan-kebijakan mereka yang melarang kaum gay, prostitusi, dan lain-lain itu seringkali tanpa argumen yang jelas. Mereka kalau diminta menjelaskan penolakan tersebut, selalu berputar-putar mengatakan “karena kitab suci melarang itu”. Tapi kami ‘kan ingin penjelasan rasional, atas dasar penalaran dan logika yang jelas, mengapa mereka menolak, dan alasannya juga harus logis. Harus ada “reason” dalam menjelaskan sesuatu. Ini yang belum saya dapatkan dari jawaban mereka.

 

Soal integrasi kebudayaan memang perlu sekali. Tapi saya berpendapat bahwa akan selalu ada orang yang bertentangan dengan apa yang kita yakini, itu sudah pasti. Tapi kembali lagi di sini saya bicara dalam tataran hukum. Konstitusi Belanda sudah jelas, bahwa orang tidak bisa mendiskriminasi atas dasar apa pun. Tapi demokrasi ini juga berstandar ganda, kalau saya seorang humanis progresif, lalu saya mendirikan organisasi sekuler, saya pun tidak boleh melarang orang Kristen atau Muslim masuk ke organisasi saya, jadi saya tidak boleh mendiskriminasi mereka hanya karena mereka relijius. Ini memang sudah harga mati dalam berdemokrasi. Bagaimana supaya orang-orang tidak saling mengganggu. Tapi konflik itu toch akan terus ada, karena pemikiran orang ada sebanyak kepala orang itu. Ada 6 milyar orang di dunia ini, maka ada 6 milyar pemikiran. Tapi itulah bedanya demokrasi dan otoritarian. Dalam sistem otoriter, anda harus punya satu konviksi. Tapi dalam demokrasi, anda bebas mau meyakini apa pun, dan kebebasan ini dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kalau orang dengan orang sudah berbenturan, hukum-lah yang menyelesaikan, karena kita menyandang status warga negara, jadi kita harus bertanggung jawab di depan hukum negara. Saya meyakini demokrasi yang humanis inilah yang terbaik, karena harus ada pertanggung jawaban seseorang. Harus ada hukum, tapi hukum itu juga harus progresif, harus mau maju seturut dengan perkembangan zaman. Kalau hukum itu stuck, mandek, maka hukum itu ketinggalan jauh di belakang orang-orang yang sudah banyak berubah.

 

GDA: Pak rechtsgeleerde, terima kasih banyak.


RG: O ja, ja, hartelijk bedankt.

  

Disarikan dari:

·   -  Website Kementerian Luar Negeri Belanda (www.minbuza.nl)

               terutama: - Dutch Policy on Prostitution (Question and Answers 2005)

- Marriage Between Two Men or Two Women (Questions & Answers 2003)

- History of the Kingdom of Netherlands

- Website Kementerian Hukum Belanda (www.justitie.nl)

- Humanism and Homosexuality in Holland: Jim Herrick interviews Kees Waaldijk (www.galha.org)

- Radio Nederland Suara Indonesia (www.ranesi.nl)

- Wikipedia, The Free Encyclopedia (www.wikipedia.org), ‘Dutch Liberal Policies’.

- Wikipedia, The Free Encyclopedia (www.wikipedia.org), ‘The Politics of Netherlands’.

 

7 September 2007


1 comment: