Wednesday, April 8, 2009

Mati

Bagaimana saya akan mati nanti kadang lebih penting bagi saya daripada bertanya kapan saya akan mati. Tapi itu bukan masalah siksa kubur (bukan azab “kuburan penuh tanah”—Ya jelas! Atau azab “mati menjadi mayat”—Ya pastilah!), juga bukan masalah surga dan neraka ataupun bagaimana rasanya sekarat-tul-maut. Ini masalah keunikan yang terbayang di benak saya ketika membayangkan kematian saya—dan saya benar-benar tidak tahu apakah ketika saya mati maka saya masih merasa kejadian ini unik dan takkan terjadi untuk kedua kalinya?

 

Ada yang lain dari “masalah bagaimana” tersebut buat saya. Kadang-kadang lelucon muncul dan mengatakan bahwa untuk mati pun saya harus benar-benar siap mental untuk menghadapinya! Masalahnya: toh sesudah fase menghembuskan nafas terakhir tersebut, mental yang sudah dipersiapkan tadi benar-benar jadi tidak bermakna. Maka itu tidak akan ada hasil apa-apa. tidak ada penentuan, tidak ada ketentuan, tidak ada yang menentukan. Justru ini yang menakjubkan. Justru saya harus siap mental, untuk sesuatu yang tidak akan menghasilkan apa-apa…sungguh perlu mental baja untuk itu!

 

Iya, menjadi siap. Makanya menjadi pasrahlah orang-orang yang menghadapi kematian. Pun mungkin saya akan seperti itu juga. Kadang saya takut mati, itu wajar. Mungkin yang sudah terlatih dalam diri manusia adalah rasa takut menghadapi sesuatu yang tidak pasti. Kematian adalah salah satunya. Soalnya dia terletak di depan (bagi orang yang berpikir linear), dan pasti ada dalam siklus hidup (bagi orang yang berpikir sirkular dan reinkarnatif).

 

Masalah ingatan adalah yang paling penting di sini. Jika boleh disederhanakan, misteri kematian itu terletak pada: menjadi amnesia untuk selamanya. Serasa otak kita lenyap tiba-tiba ketika jantung berhenti berdetak dan kita berhenti bernafas. Apa yang akan saya rasakan pada detik itu? gelap? Hening? Atau ada cahaya terang yang berkata “oh ini surga” atau api merah membara berjudul “neraka”—kalau keadaannya seperti ini berarti pas mati saya tidak amnesia, setidaknya bahasa Indonesia saya masih dipakai untuk membantu mengenalkan saya pada kejadian berikutnya—tapi menurut saya ini agak aneh, karena “menjadi mati” adalah berada dalam ketiadaan bahasa karena ingatan dan kesadaran musnah, seiring dengan lenyapnya tubuh saya dari muka bumi.

 

Visualisasi tentang neraka dan surga tidak pernah jelas bagi saya. Justru lenyapnya kesadaran adalah surga sekaligus neraka itu sendiri. Kematian maknanya beda dengan makna yang sehari-hari kita telan. Justru dualisme itu berhenti pada saat mati, semuanya tak terhitung, nempel, pun surga dan neraka adalah bagi saya: hanya satu hal, bukan dua hal yang berlainan. Jadi, bukan masalah “cahaya kebahagiaan” dan “api abadi”, tapi justru mempersiapkan diri untuk menjadi “tidak ada lagi.”

 

Saya juga pernah bermimpi neraka dan surga, memang bikin kaget pas bangun tidur, tetapi setelah itu biasa lagi. Saya lebih tertarik dengan mimpi saya yang lain lagi, yaitu ketiadaan ketika mati. Saya tak ingin mengharapkan reward apa-apa setelah saya mati, apakah itu kebahagiaan ataukah hukuman setimpal. Saya lebih tertarik mendapatkan reward ketika masih hidup di dunia. Setelah saya mati dan kehilangan makna serta ingatan, apa gunanya sebuah reward atau punishment? Saya tak mau rakus ketika saya mati. Namanya juga istirahat. Rest in peace. “Peace” bagi saya ya nggak ngapa-ngapain karena sudah waktunya istirahat setelah berlelah-lelah di dunia.

 

Makanya saya sebut tadi, bagi saya surga dan neraka adalah satu hal yang sama, yang sering dilihat banyak orang dengan kacamata yang berbeda. Tapi menurut saya kedua hal itu cuma satu hal dengan dua penafsiran yang berbeda. Surga adalah “istirahat” bagi yang mati. Tapi mungkin neraka bagi yang masih hidup dan ditinggalkan oleh yang mati. Perasaan kehilangan—ditinggal mati—adalah neraka. Ya iyalah, namanya masih hidup bersama, dengan seorang pasangan, kekasih, istri atau suami, kalau yang satu mati, yang lain nangis. Runtuh. Hilang sudah permataku. Amblas. Rasanya pingin mati juga.

 

Begitulah memang, satu-satunya yang mengerikan dari kematian, menurut saya, adalah bagaimana jadinya perasaan orang yang sangat mencintai kita, ditinggalkan dan melihat separuh bagian hidupnya hilang. Kecuali untuk beberapa orang yang memang tidak berperasaan lantas cari orang lain dengan mudahnya, itu lain soal. Tapi jelas perih kalau sudah mainan perasaan. Makanya, satu-satunya alasan paling masuk akal bagi saya untuk takut mati adalah saya kasihan dengan orang yang paling saya cintai—orang yang paling mencintai saya. Pasangan saya tentu takkan khawatir apakah saya masuk surga atau masuk neraka, tetapi justru bahwa dia akan benar-benar merasakan kehilangan. Semacam kekosongan di dalam diri. Makna kematian menjadi sangat berarti bagi yang masih hidup, bukan yang sudah mati. Mungkin ini sudah menyentuh prinsip tentang kasih sayang yang sering kita abaikan.

 

Kematian adalah distorsi bagi yang hidup, bukan yang mati. Saya tak mungkin enak-enak masuk surga sementara orang yang sayang pada saya merana karena kehilangan. Betapa rakusnya saya mencari kenikmatan surga sendiri seperti itu. Surga sebenar-benarnya bagi saya adalah ketika perasaan pasrah itu muncul, bagi saya maupun bagi yang mencintai saya, ketika saya lenyap ditelan bumi—pun sebaliknya, jika saya mati belakangan. Karena saya takkan lari kemana-mana, sebenarnya akan terus ada, yang sesungguhnya satu perpisahan adalah justru tidak pernah ada, menjadi spirit hidup bagi yang mencintai saya—jelas untuk sama-sama menghargai hidup, sekaligus menghargai kematian. 


6 November 2005


1 comment:

  1. Lucky Lucky Casino Slots | MapyRO
    Lucky Lucky 김해 출장샵 Casino is 천안 출장안마 the second hotel and casino in Kingston in 양산 출장안마 Kingston, which has a number of entertainment options, including 제주도 출장안마 a sports bar, a restaurant, 통영 출장샵

    ReplyDelete