Thursday, April 2, 2009

Tentang Chicklit


Chicklit adalah sebuah fenomena dalam sastra (atau dunia penulisan atau literatur). Dalam bahasa Inggris, kata literature berarti segala bentuk tulisan seni (fiksi, drama, puisi), sehingga Chicklit (baik itu novel maupun cerpen) bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk karya sastra juga, dan tidak berada dalam posisi di luar kesusastraan.

 

Kenapa Chicklit dianggap karya sampah?

Banyak orang (termasuk para sastrawan dan dewa-dewa sastra) di Indonesia masih menerjemahkan dan menafsirkan kata ‘sastra’ sebagai ‘kitab suci’ seperti yang diterjemahkan di dalam kamus W.J.S Poerwadarminta. Sastra, oleh orang-orang yang menganut paham romantisisme, dianggap sebagai ‘jalan menuju kebenaran’. Menurut mereka, sastra haruslah membawa pesan moral dan akhlak untuk membangun bangsa. Selain itu, sastra juga pernah (dan mungkin sampai saat ini) oleh banyak orang dilakukan atas dasar ‘seni untuk seni’ (l’art pour l’art), sehingga sastra ditulis hanya untuk dunia sastra sendiri dan bukan untuk masyarakat awam.

 

Dengan kata lain, khalayak sastra di Indonesia pada umumnya masih menganggap bahwa suatu karya bisa disebut sebagai ‘karya sastra’ jika karya tersebut memenuhi standar konvensi yang berlaku atau ‘telah ditetapkan’ sebelumnya. Konvensi ini disebut ‘kanon’. Bagaimana karya-karya sastra bisa masuk dalam kanon sastra Indonesia adalah tidak lepas dari peran kritikus sastra, pembaca sastra, dan penulis sastra itu sendiri. Ketika seorang penulis memproduksi sebuah karya sastra (entah itu novel, cerpen, puisi, atau naskah drama), ia mempunyai alur proses dalam produksi tersebut. Alur itu disebut ‘proses kreatif’. Di dalam proses kreatifnya, penulis tentu saja mula-mula memiliki sebuah motivasi terhadap karya yang akan ia tulis. Motivasi tersebut terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan ontologis yang sederhana yang ia ajukan terhadap dirinya sendiri, contohnya: Apa yang akan saya tulis?, Mengapa saya menulis itu? Bagaimana saya menulisnya? Untuk apa saya menulisnya?, Untuk siapa saya menulis? dll. Motivasi itu diteruskan oleh penulis dalam penyusunan karyanya hingga sebuah kerangka cerita dapat diselesaikan menjadi sebuah ‘tulisan fiksi’.


Hasil karya itu kemudian dilempar ke pembaca, dan para pembaca melakukan proses pembacaan dengan alam pikir dan pengalamannya masing-masing. Di antara para pembaca sastra, terdapat suatu kelompok yang kedudukannya sangat menentukan arah perkembangan konvensi (peraturan) dan inovasi (pembaharuan) sastra dalam masyarakat, yaitu para kritikus sastra (atau sering disebut ‘para ahli sastra’). Para kritikus ini melakukan pembacaan terhadap karya sastra dengan cara yang agak berbeda dengan pembaca sastra yang awam. Cara mereka melakukan pembacaan, baik yang berlatar belakang akademis maupun non-akademis, adalah dengan melakukan telaah/kajian terhadap suatu karya sastra dengan berbagai macam pendekatan, teori, pemahaman/pemikiran yang telah mereka pelajari atau pegang sebelumnya. Telaah ini disebut ‘kritik sastra’ yang mengkritik karya yang telah dibaca tersebut. Kegiatan kritik sastra tidak hanya mengupas kekurangan-kekurangan yang ada dalam sebuah karya sastra, tetapi juga dapat berfungsi untuk mengangkat kelebihan-kelebihan dalam karya tersebut.


MASALAHNYA: Kegiatan kritik sastra yang dilakukan oleh kebanyakan kritikus sastra di negeri ini direduksi atau dipersempit menjadi sebuah kegiatan untuk ‘menilai baik-buruknya sebuah karya sastra’—seperti yang diajarkan oleh banyak dosen sastra.


Sebenarnya ini sangat disayangkan, karena kita semua (baik yang belajar sastra ataupun yang tidak) dalam pendidikan sastra di negeri ini telah dipermak untuk berpikir sempit, tidak pernah memikirkan kenapa karya sastra yang itu dianggap ‘baik’ dan karya sastra yang ini dianggap ‘buruk’. Dan apa sih ‘baik’ dan ‘buruk’ itu? mengapa suatu hal bisa dikatakan ‘baik’ dan yang lainnya dicap ‘buruk’? pertanyaan-pertanyaan ini seakan tidak berani ditanyakan oleh anak sekolahan sekalipun yang diperkenalkan kepada sastra Indonesia.


Karya sastra yang dianggap ‘baik’ oleh para dewa sastra (maksudnya kritikus sastra Indonesia yang sok-sok menjadi ‘pengawal sastra’) dimasukkan dalam ‘kanon sastra Indonesia’ dan nama-nama penulisnya tercatat dalam sejarah dan periodisasi sastra Indonesia. Sedangkan karya sastra yang dianggap ‘buruk’ tidak dimasukkan dalam kanon, tidak tercatat dalam sejarah, sehingga dosen sastra Indonesia akan mempertanyakan mahasiswa yang mau mengangkat karya penulis yang dianggap ‘tidak terkenal’ dalam skripsinya: “Emangnya siapa dia? Emangnya karyanya terkenal gitu?” Mahasiswa pun mengalah dan mengikuti kanon.

 

Contoh penulis-penulis yang masuk dalam kanon tersebut misalnya Marah Rusli, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Chairil Anwar, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohammad, Utuy T.S., dll, pokoknya yang ‘disegani’ karena karya-karyanya dianggap mewakili ‘inilah sastra Indonesia yang sebenarnya’ dan yang tidak menulis seperti mereka akan dicap ‘bukan sastra Indonesia’—parahnya lagi: ‘bukan sastra’. Jadi apa dong? Kejam amat?

 

Sebagai perbandingan, di sastra Inggris, penulis-penulis yang masuk dalam kanon sastra Inggris contohnya adalah William Shakespeare, D.H.Lawrence, Henry James, Thackeray, Wordsworth, Charles Dickens, Mark Twain, Walt Whitman, Geoffrey Chaucer, John Milton, Daniel Defoe, Rudyard Kipling, dll. Mereka dianggap ‘pahlawan-pahlawan Inggris’ dan beberapa diantaranya dianugerahi gelar kebangsawanan ‘Sir’ atau ’Tuan’ oleh ratu Inggris karena dianggap berjasa dalam mengembangkan kebudayaan anglo saxon (Inggris). Tetapi, masalah kanon-kanon yang ada dalam sastra Indonesia, Inggris, dll ini sekarang telah ditentang oleh para kritikus terutama oleh mereka yang berpaham posmodernis dan feminis. Para feminis misalnya, mempertanyakan soal minimnya jumlah penulis perempuan yang masuk dalam kanon. Di Indonesia, para feminis mempertanyakan apakah N.H.Dini dan Marianne Katoppo memang benar masuk dalam kanon sastra Indonesia, karena walaupun ada beberapa kritikus yang menegaskan bahwa Dini dan Katoppo masuk dalam kanon, tetapi suara tersebut jarang sekali terdengar. Di Inggris, para feminis juga mempertanyakan hal sama tentang posisi Virginia Woolf, misalnya. Pokoknya, masalah kanon itu selalu dipertanyakan oleh para feminis manapun karena menurut mereka, kebudayaan kanonik meminggirkan penulis perempuan, seakan-akan ‘hanya sedikit perempuan yang menulis’ dibanding laki-laki, padahal mah bisa jadi nama-nama penulis perempuan ‘sengaja nggak dicatat’ oleh para dewa sastra yang kebanyakan laki-laki dan patriarkis. Karena ada hubungannya dengan kenyataan bahwa ‘jika perempuan dibiarkan bersuara/menulis/berpikir bebas, maka kedudukan dewa sastra akan terganggu/terusik’, sehingga kekuasaan mereka tidak akan langgeng.

 

Nah, masalah yang sebenarnya dalam hubungan chicklit dengan kebudayaan kanonik ini adalah bagaimana para dewa sastra Indonesia dengan kanonnya meminggirkan dan mencela chicklit sebagai karya-karya sampah dan tidak layak dimasukkan dalam kanon—minimal diakui sebagai ‘karya sastra’ juga. Polemik yang berkutat pada masalah kenapa chicklit tidak dapat dianggap sebagai karya sastra sebenarnya sama saja ketika terjadi polemik ‘sastra wangi’, ‘sastra mesum’, ‘sastra seks’, dsbnya. Dimulai dengan pendobrakan Ayu Utami sebagai penulis perempuan yang berani mengeksplor seksualitas, dan dilanjutkan dengan ramenya penulis-penulis perempuan lainnya pada muncul (dan entah kebetulan atau nggak, mereka juga memberikan porsi tentang seksualitas dalam karyanya), para dewa sastra dan konco-konconya yang bersemayam dalam istana ‘DKJ’ merasa terusik. Mereka, dibantu dengan ‘bantuan moral’ oleh Helvi Tiana Rosa cs.dari Sya’amil dan Mizan, berkoar-koar dalam seminar bentukan mereka yang berjudul “Sastra Kota”. Di seminar itu, moralitas digembar-gemborkan oleh para pengawal sastra macam Taufik Ismail, Agus R. Sardjono, Medy Loekito, dll, untuk menolak dan mengkritik keberadaan penulis perempuan. Saman danLarung, yang dianggap oleh mereka sebagai tameng terdepan ‘sastra seks’, dikritik habis-habisan sebagai karya yang ‘tidak bermoral’. Konon, dari situlah bermula julukan-julukan macam ‘sastra wangi’ dan ‘sastra mesum’. Mereka, yang berpaham romantisisme, dengan dibantu moralitas agama yang kental dari gengnya Helvi, menganggap bahwa sastra seharusnya ‘membawa pesan moral’ dan bukannya ngomongin seksualitas secara blak-blakkan. Pokoknya, segala jargon diumbar di kalangan ‘para pembawa kebenaran’ tersebut untuk menghakimi Ayu cs.

 

Seminar Sastra Kota tersebut dibales dengan Seminar Seks Teks Konteks (STK) yang diadain Sastra Inggris Unpad bareng Kelompok Belajar Nalar. Perang wacana yang sebelumnya terjadi di koran, berlanjut di seminar-seminar. STK ngebales DKJ dengan cara membela Ayu cs.habis-habisan justru dengan memunculkan wacana seksualitas yang ditunjang dengan pemikiran feminis, posmodernis, poskolonial, dan teori-teori kontemporer lainnya yang selama ini memang dipinggirkan oleh geng DKJ. Pokoknya, perang tersebut berlangsung seru dan sekarang-sekarang, kita lihat, justru isu ini agak memudar dengan sendirinya dan penilaian akhir kembali pada pelaku sastra (penulis, pembaca, kritikus) sendiri. Semuanya tampak bubar jalan.

 

Nah…ternyata polemik berganti menjadi ‘apakah chicklit bisa disebut karya sastra juga’. Sekarang para dewa sastra yang tampak kurang kerjaan tersebut mengganti lawan perang mereka dari Ayu cs.menjadi geng chicklit. Bagaikan Amerika yang dengan seenak perutnya mengganti musuh mereka dari Rusia menjadi Irak, para dewa sastra DKJ kini menyorot chicklit sebagai musuh baru. Karya-karya chicklit dianggap bukan karya sastra dan dianggap sebagai karya murahan layaknya sampah yang bisa dibuang begitu saja.

 

Melihat isu chicklit ini dengan kerangka yang terlepas dari feminisme sebenarnya bisa saja. Sebagai hasil ungkapan ekspresi seseorang, chicklit tetap harus diakui keberadaannya. Kenapa chicklit dianggap bukan karya sastra karena pola penulisan serta motivasi yang menjadi dasar penulisannya berbeda dengan konvensi sastra pada umumnya. Chicklit disebut sebagai karya yang dasarnya lebih popular dibanding karya sastra umumnya. Popular berarti ‘bersifat memasyarakat atau umum’. Bisa dibandingkan dengan kata ‘populis’ yang artinya ‘merakyat’. Jadi memang ada hubungannya dengan masyarakat kebanyakan atau ‘kebudayaan pada umumnya’, dalam hal ini Indonesia. Kenapa karya sastra dianggap tidak popular karena pola penulisan dan motivasi penulisannya berbeda dengan pola penulisan ‘biasa’ yang dilakukan oleh masyarakat umum. Karya sastra dianggap sebagai tulisan yang ‘aneh-aneh’, yang ‘indah-indah’, dengan bahasa yang ‘tidak biasa’, sehingga terciptalah sekat antara ‘yang sastra’ dan ‘yang bukan sastra’ dalam pemikiran masyarakat pada umumnya. Konon, chicklit dianggap bukan sastra karena bahkan dari segi bahasapun, ia terlalu ‘biasa’, dan tidak menunjukkan gejala bahasa yang ‘nyastra’.

 

Bukan hanya dari faktor bahasa, tetapi juga masalah motivasi penulisan chicklit itu sendiri. Penulis chicklit pada awalnya memang mempunyai motivasi untuk menulis dengan cara yang ‘biasa’ dan mudah diterima oleh masyarakat awam. Sehingga ia sejak awal sudah menargetkan bagaimana ia akan menulis, siapa yang akan membaca, dan bagaimana karyanya akan dipahami dan diinterpretasi oleh orang banyak. Mungkin saja penulis chicklit memang ingin menulis dengan bebas tanpa nantinya akan kena label ‘chicklit’, ‘bukan sastra’, atau label-label lainnya. Yang penting bagi penulis chicklit adalah masalah kemauan untuk menulis dan kreativitasnya. Mereka sebenarnya tidak punya masalah dengan label ‘apakah saya nantinya bisa dianggap sebagai sastrawan’ atau tidak. Cara-cara yang dilakukan penulis chicklit untuk menampilkan sesuatu yang populer dan mengangkat pengalaman yang sangat-sangat umum (dan bisa terjadi pada semua orang), tampak pada tema cerita. Selain itu, bahasa yang dipakai juga adalah bahasa sehari-hari yang terjadi di masyarakat (terutama kalangan muda), dengan kata lain, bahasanya adalah bahasa yang familiar. Sehingga chicklit memang mendobrak formalisme Rusia, bahwa sastra memiliki bahasa yang tidak familiar, berbeda dengan bahasa yang dipakai sehari-hari. Kata-kata pergaulan seperti ‘gue’, ‘elo’, ‘so what gitu lho’, ‘gue banget’, dll sangat cukup untuk mendobrak tabu dalam bahasa Indonesia yang selama ini dianggap harus ‘dipraktekkan secara benar dan baku’. Dewa sastra menyayangkan hal ini, karena bahkan dari segi bahasa pun, chicklit dianggap membelot dari konvensi yang telah ditentukan, apa lagi dari segi-segi lain. Makanya, dengan mudah chicklit dianggap ‘bukan sastra’ karena telah ‘menyimpang’ dari konvensi, regulasi, aturan, norma-norma, yang dipakai untuk menentukan suatu karya dapat disebut ‘nyastra’.

 

Padahal, jika kita kembali lagi pada dasar bahwa literatur atau sastra adalah segala bentuk tulisan fiksi, sebenarnya gak ada masalah untuk mengatakan bahwa chicklit juga adalah karya sastra, walau bahasanya gak baku lah, temanya terlalu biasa lah, dan lain-lain. Chicklit tidak lebih dari sebuah fenomena dalam sastra bahwa telah muncul gaya menulis yang lain (yang sebenarnya sudah ada sejak lama tapi ga pernah diwaro sama orang sastra), dan itu harus diakui sebagai keberagaman dalam kesusastraan Indonesia.

 

Bantahan Terhadap Chicklit oleh Para Feminis

Ternyata, bukan hanya para dewa sastra yang mengkritik chicklit. Tapi dari sisi lain juga ada yang banyak menyerang, yaitu para feminis. Menurut feminis, chicklit itu walaupun ditulis oleh perempuan, tentang perempuan, dan umumnya lebih banyak dibaca perempuan, tapi tetap saja tidak berniat untuk menentang patriarki sama sekali. Chicklit bukanlah pemberontakan perempuan terhadap penindasan yang dilakukan patriarki, karena penulisan perempuan yang dilakukan tidak berada dalam kerangka feminisme. Memang sudah ada rambu-rambu sebelumnya, bahwa walau si perempuan menulis, belum tentu ia sebenarnya melawan patriarki. Tapi, bisa jadi tulisannya malah mendukung patriarki—yang seharusnya dilawannya. Masalahnya, bahasa dan strategi menulis yang dipakai penulis chicklit masih berada dalam frame patriarkis dan ‘tidak peka’ terhadap bagaimana perempuan selama ini dianggap sebagai The Other/Liyan/Yang Lain oleh masyarakat yang patriarkis.

 

Feminis juga mengkritik bahwa chicklit itu tidak feminis, tetapi justru membawa pesan ‘girl power’. Dan ‘girl power’, yang awalnya memang diciptakan oleh grup Spice Girls (terutama Geri Halliwel/Ginger Spice), adalah konsep yang sebenarnya berani ngomongin keperempuanan dan seksualitas tanpa harus ngomongin feminisme. Hal inilah yang membuat banyak orang ‘curiga’ bahwa chicklit itu adalah bentuk riil dari posfeminisme. Seperti yang disebut-sebut dalam buku Posfeminisme-nya Ann Brooks, film-film macam Sex and The City, Ally McBeal, Bridget Jones’ Diary adalah termasuk posfeminisme, karena mereka ngomongin perempuan dan seks tanpa nyangkut-pautin ke feminisme (bahkan feminisme tidak pernah disebut-sebut di dalamnya). Sama aja kasusnya dengan chicklit. Ada yang bilang, girl power adalah sebenarnya pesan feminis yang implisit/tidak eksplisit/tersembunyi. Tapi juga ada yang bilang, girl power jelas-jelas bersebrangan dengan feminis. Karena, girl power yang didukung posfeminisme itu sebenarnya adalah bentuk neo-konservatisme/konservatisme baru. Neo-konservatisme adalah gerakan untuk kembali ke nilai-nilai lama/kolot/tradisional/konservatif yang tidak setuju pada gerakan-gerakan yang lebih ekstrim seperti feminisme. Dengan kata lain, posfeminisme bisa dibilang sebagai anti-feminisme. Dan ada yang menyamakan posfeminisme ini sejajar dengan posmodernisme. Jika posmodernisme menolak modernisme, maka posfeminisme menolak feminisme—dalam artian, feminisme itu disamakan dengan modernisme.

 

Tapi hal ini bisa dibantah lagi, karena semua bentuk feminisme pada dasarnya (apalagi feminis posmodern) menentang modernisme. Banyak aspek dari modernisme yang dikritik feminis, misalnya mengenai peran perempuan dan peran laki-laki dalam ranah domestik (keluarga) dan ranah publik (masyarakat). Sebenarnya modernisme itu bagus, karena mengakui bahwa manusia adalah subjek yang otonom dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dan ini juga berlaku bagi perempuan. Tapi nilai ini kemudian dikorup oleh masyarakat yang statis, kapitalis, dan konservatif, menjadi pembenaran bagi subjek “laki-laki” untuk menjadi otonom, bebas, merdeka, tanpa menghiraukan subjek “perempuan” yang punya perbedaannya sendiri dan kesulitannya sendiri. Laki-laki kemudian mempunyai peran yang utama jika dibandingkan peran perempuan (berarti perempuan dan laki-laki tersegmentasi dalam dunia yang berbeda). Ada treatment yang berbeda dari masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Seperti yang dikatakan feminis Perancis Simone de Beauvoir, bahwa laki-laki memiliki “diri” atau “self”, tetapi perempuan tidak punya, karena perempuan cuma “the other”, atau “yang lain”. Laki-laki adalah “pusat”, karena laki-laki adalah “laki-laki”, sementara perempuan adalah “bukan laki-laki”, maka itu perempuan tidak punya “subjek” atau “diri” seperti yang dipunyai laki-laki. Hal ini dianggap oleh feminis, sebagai sistem patriarki, karena feminis memperjuangkan kesetaraan antara dua gender tersebut agar tidak terjadi ketimpangan yang menyebabkan perempuan selalu menjadi gender kelas dua dan laki-laki kelas satu. Masalahnya, neo-konservatisme itu dengan terang-terangan mengkampanyekan gerakan untuk kembali ke peran-peran tradisional tersebut. Dan girl power sebagai neo-konservatisme sebenarnya ‘diam-diam’ sedang berkompromi dengan patriarki dan menganggap bahwa ‘ah, patriarki itu gak papa kok, asal kita sebagai perempuan tetap berada dalam peran kita sebagai perempuan dan laki-laki berada dalam perannya sebagai laki-laki’. Atau seperti yang sering dibilang orang: “Perempuan boleh sukses dan hebat, tapi jangan melupakan kodratnya sebagai perempuan.”

 

Jelas, ini hal yang masih jadi polemik atau debat tak berkesudahan di kalangan feminis. Menurut beberapa feminis, girl power sebenarnya problematis. Walau ia mengkampanyekan supaya perempuan menjadi ‘kuat’ dan tidak mau dikalahkan laki-laki, ia sebenarnya ujung-ujungnya tetep ngakuin bahwa ‘perempuan’ tetep butuh laki-laki dan mengakui bahwa laki-laki harus terus menjadi ‘partner’ perempuan (bahkan ‘penolong’ perempuan ketika tidak sanggup lagi melakukan yang berat-berat) dalam segala bidang, seperti yang dikatakan Geri Halliwel: “…it doesn’t mean you don’t need a boy.”

 

Feminis marxis dan sosialis mungkin akan mengkritik chicklit seperti ketika mereka menentang kapitalisme. Karena chicklit adalah karya yang populer dan diterima oleh pasar, dengan segmen remaja sebagai konsumen terbesar, maka chicklit akan dianggap sebagai proyek kapitalisasi sastra juga. Bagaimana kenyataan yang berbicara bahwa penulis chicklit bisa gampang kaya dibanding penulis karya sastra pada umumnya, membuat chicklit dalam segala hal dikritik sebagai “trend” yang tidak peka. Sudah chicklit dikritik karena tidak peka terhadap masalah sosial dan politik, ia juga dikritik sebagai bentuk kegiatan kapitalistis yang memperkaya individu-individu yang pengen cepet kaya dan ‘hasrat’nya terkekang. Chicklit dianggap sebagai tanda bahwa kini sastra pun bisa dibisnisin dan menjadi profesi yang tidak ada bedanya dengan pengusaha besar—karena nantinya si penulis chicklit juga bisa tenar.

 

Nah, kapitalisme sebenarnya bersalut dengan neo-konservatisme, patriarki, dan modernisme. Menurut frame of mind feminis poskolonial, penindasan yang dialami perempuan bukan hanya oleh patriarki, tapi juga kapitalisme, rasisme, kolonialisme, dan hal-hal lain yang semuanya tumpang tindih dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain karena hal-hal yang menindas tersebut saling terikat/saling berkaitan. Jadi, chicklit selain membawa pesan neo-konservatisme, juga berarti membawa pesan yang kompromi terhadap patriarki, kapitalisme, modernisme, dan kolonialisme. Seakan-akan, chicklit mau berkata: “sudah cukup lah ribut-ribut ngomongin penindasan, toh pada kenyataannya kita tetap berada dalam peran-peran yang itu-itu juga, jadi itu semua gak masalah.”

 

Tapi, kalo kita mau terlepas dulu dari wacana feminisme dalam memandang chicklit dan melihatnya dalam kerangka yang biasa aja, tidak terlalu ekstrim, dan ‘chicklit banget’, ya kita tetep bisa melihat chicklit sebagai sebuah fenomena dalam sastra.

 

Para dewa sastra DKJ yang menolak chicklit dengan dasar romantisisme akan kebudayaan kanon yang “tinggi”, dan para feminis yang menolak chicklit dengan dasar bahwa girl power berseberangan dengan feminisme, sebenarnya juga berada dalam posisi yang berlawanan meski dua kubu itu sama-sama mempertanyakan ‘kredibilitas’ chicklit. Dewa sastra DKJ sebenarnya juga orang-orang yang konservatif dan mengusung neo-konservatisme, dan melihat chicklit sebagai suatu serangan. Mereka, adalah orang-orang yang bingung, menurut saya. Kalau umumnya chicklit mengusung amanat neo-konservatisme sama seperti DKJ, lalu kenapa DKJ menolak ‘sodara sebangsanya’ itu? Lha wong sama-sama konservatif kok ribut? Tapi itu kalo melihatnya dalam kerangka feminisme dan kritisisme.

 

Kalo mau melihatnya dalam kerangka yang lebih bebas dan longgar, ya kita tetep harus akui keberadaan chicklit sebagai bentuk penulisan yang juga termasuk sebagai karya sastra. Jadi pernyataan pembelaan terhadap chicklit yang bisa kita putar-putar adalah: “biar gimana pun juga, chicklit itu hasil tulisan seseorang, dan semua tulisan fiksi adalah sastra, biar gimana pun bahasa atau temanya berbeda dengan sastra kebanyakan, gitu-gitu juga chicklit toh ditulis dengan dasar kreativitas dan seni, jadi ga ada alasan untuk ga menerima chicklit sebagai bagian dari khazanah sastra Indonesia.”

 

Chicklit itu bisa dipandang sebagai sebuah buku yang memberikan warna-warni baru dalam ‘rak buku besar sastra Indonesia’ dan chicklit ditambahkan ke dalam rak tersebut, sehingga bukankah itu membuat sastra Indonesia semakin kaya? Masalahnya, memang kita harus mengakui bahwa sastra Indonesia memang masih prematur dan masih dalam fase yang sangat muda jika dibandingkan kesusastraan yang ada di negeri lain (sastra Inggris, misalkan, yang sejarahnya dimulai sekitar 15 abad yang lalu—jauh banget dong sama sastra Indonesia modern yang baru mulai tahun 1920-an (atau 85 tahun yang lalu), karena sebelumnya yang ada sastra Melayu, bukan ‘sastra Indonesia’ seperti yang dikenal saat ini).

 

Chicklit bisa dipandang sebagai suatu perbedaan yang harus dirayakan, karena jika selalu menuruti konvensi kolot, sastra Indonesia tidak akan berkembang kemana-mana dan sastra Indonesia tetap dianggap sastra yang terbelakang.

Satu hal yang saya kritik dari chicklit, dan mungkin kebanyakan dewa sastra DKJ akan setuju, yaitu soal eksplorasi pergulatan batin tokoh yang masih kurang. Saya pikir, ini bukan excuse yang bisa ditawar setiap penulis, baik chicklit maupun sastra yang lebih serius. Walaupun chicklit memang “populer” dan berkesan tidak serius, tapi pergulatan batin tokoh adalah “inti” dari drama manusia, yang menjadi pusat utama dari keseluruhan kerangka fiksi. Sex and the City, Desperate Housewives, Bridget Jones Diary memang populer, sangat “fun” dan “glamour”, tetapi kenapa mereka bisa jadi film-film yang best seller adalah juga karena mereka memiliki tingkat kedalaman yang lebih mengena dibanding film-film dewasa muda lainnya. Ada intrik dan konflik yang luwes dan tidak dibuat-buat. Kebanyakan chicklit masih senang “bermain-main” dalam pola sinetron kejar tayang, yang gampang ditebak arahnya dan tokoh-tokohnya bergerak bagaikan robot, dengan akting yang masih harus banyak dilatih lagi. Ini patut disayangkan untuk tipe bacaan yang sekarang sudah jadi konsumsi hampir semua orang muda terutama di perkotaan. Saya hanya mengharapkan karya sastra lebih jujur soal perasaan manusia yang amat kompleks dan tidak pretensius. Pun untuk chicklit. Bahagia bukan sekadar “bahagia”, tapi ada sejuta cara lain untuk mengeksplorasinya, begitu juga dengan perasaan sedih, gundah, buntu, bosan, dan lain-lain.

 

Terlepas dari itu, ada rasa optimis yang mungkin bisa diangkat dari kehadiran chicklit, yaitu jasanya untuk—minimal—meningkatkan lagi minat baca yang rendah dari anak-anak muda Indonesia, sekaligus memberi gairah pada mereka untuk mulai menulis. Minimal, kreativitas ini bisa dianggap sebagai jasa chicklit untuk membantu sastra agar lebih ‘membumi’, dapat dicerna dengan bahasa awam, dan jauh dari kesan sastra sebagai ‘menara gading’ yang selama ini selalu dipertontonkan para dewa sastra di DKJ. Chicklit, dalam hal ini telah berhasil memberikan sumbangsih, minimal untuk membuat orang muda Indonesia mulai berani mengangkat pena dan memulai tulisan tentang diri mereka sendiri. Minimal itu aja dulu sih…


31 Mei 2008


1 comment:

  1. wah grace aku suka deh tulisannya
    sekalipun ga terlalu ngerti...bahasa tingkat tinggi!
    hehehe :P

    ReplyDelete